Skip to main content

Garam itu produk politis, bukan produk daerah panas: Catatan untuk cagub NTT

Menteri Luhut Ingin NTT Dijadikan Provinsi Garam, demikian judul tulisan di Tempo.co tanggal 31 Oktober 2017 lalu. Sumber informasi langsung dari Menko Maritim sendiri: "Menurut Luhut, untuk memutus ketergantungan impor, pemerintah telah menyiapkan lahan 30.000 hektare untuk produksi garam di Nusa Tenggara Timur (NTT)". Tetapi nampaknya keinginan ini hanya wacana. Realisasi keinginan Luhut ini terbaca dari topik diskusi pertemuan trilateral pemda NTT dengan pihak Australia dan Timor Leste, di Labuan Bajo, kamis kemarin. Pemda menawarkan peluang investasi garam kepada kedua negara ini. Pusat hanya berkeinginan tanpa aksi yang jelas.

Tambahan informasi dari twitter Ibu Susi, Menteri KKP, pagi ini semakin memperjelas wacana Luhut. Komentar ibu Susi pendek "Artikel menarik" terhadap tulisan pendek berjudul "Simsalabim! Kartel Garam Kembali Berjaya" yang dimuat padi ini di Tirto.co Tulisan ini menggarisbawahi pertemuan di kantor Menko Ekonomi, Darmin Nasution, tentang PP 9/2018 yang memberi kuasa kepada Kemendag untuk mengimpor garam cukup dengan rekomendasi dari Kemenperin tanpa lagi rekomendasi dari KKP, alias ibu Susi. Sepertinya KKP dikeluarkan karena penolakan Ibu Susi terhadap impor garam.

Seperti impor beragam sembako selama ini, impor itu bisnis yang menarik. Impor dilakukan bukan karena tidak ada atau kurang produski dalam negeri, tetapi impor lebih bersifat politis. Masih ingat kan pemberitaan beberapa tahun lalu terkait impor minyak oleh Petral dari Singapore yang diyakini diotaki oleh pihak tertentu? Demikian juga dengan kesulitan pembangunan kilang minyak dalam negeri. Apakah kita tidak bisa membangun kilang minyak seperti Singapore? Jawabannya sudah pasti kita bisa. Tetapi, penghentian impor menyebabkan Pertamina bisa menghemat Rp. 8,5T yang sebelumnya bebas dinikmati oleh pihak-pihak tertentu itu. Jadi hemat bagi negara itu adalah kerugian bagi pihak tertentu. Ini masalahnya.

Cerita ketergantungan garam selama ini senasib dengan impor minyak; lebih bersifat politis dari pada teknis produksi. Bukan penambang garam dalam negeri tidak mampu memproduksi garam, tetapi lebih karena mereka tidak mampu memberikan 'sesuatu' kepada oknum yang mengatur keran import garam. Garam impor dibiarkan bebas membanjiri pasar nasional dengan harga yang rendah. Sementara biaya produksi yang tinggi membuat garan dalam negeri tidak mampu bersaing dangan garam import. Akibatnya, insentif produksi dalam negeri berkurang, pekerja dirumahkan dan produsen mati suri. 

Masalah garam sesungguhnya itu politis ekonomis.Impor garam rawan ditunggangi dagang politik. Ketersedian garam tidak terkait dengan produksi nasional yang kurang. Maka posisi geografis klimatoligis NTT yang cocok untuk produksi gamar mungkin cukup jadi kebanggaan tanpa manfaat riil. Pemda tidak perlu terbuai dengan keinginan pak Luhut untuk menjadikan NTT sebagai lumbung garam nasional kalau keran impor tetap deras alirannya sementara investasi di daerah lumbung garam seperti NTT tetap tidak mengalami perubahan.

Tetapi mungkin moment pilkada ini bisa jadi kesempatan untuk mempertegas political will pemerintah pusat yang sudah ada. Daya tawar NTT memang rendah, maka mungkin dengan memenuhi kebutuhan garam NTT dengan garam produksi NTT itu sudah cukup. Sulit bagi kita untuk mendikte pemerintah pusat. Butuh Cagub yang berani meminta pemerintah pusat untuk menutup NTT bagi produk import semacam garam.

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba