Skip to main content

Solusi Praktis Kemiskinan NTT

“NTT menempati urutan ke-3 termiskin secara nasional. Tingkat kemiskinan di NTT masih sangat tinggi yaitu 21, 85%, atau sekitar 1.150.790 orang miskin,” kata Maritje Pattiwaellapia, Kepala BPS NTT, Selasa (24/10/2017).

Siapa yang disebut miskin?
Menurut standar UNDP yang kemudian diadopsi oleh BPS, penduduk miskin adalah: "penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan". 

Lalu, Garis Kemiskinan (GK) didefinisikan sebagai nilai penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). 
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Sedangkan GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Maka, penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. 

Dengan dasar GK, BPS mendapati 21,85% dari jumlah penduduk NTT sebagai penduduk miskin. Kalau data penduduk miskin ini dianggap menyebar merata pada semua kelompok umur penduduk, lalu dikelompokan lebih lanjut berdasarkan kelompok ketergantungan (usia sekolah/kuliah, produktif dan lanjut), maka komposisi penduduk miskin adalah: 
1) Usia sekolah/kuliah (0-19 tahun) itu sekitar 45%;
2) Usia produksi (20-59 tahun) sekitar 47%;
3) Usia lanjut (60-atas tahun) sekitar 8%.

Dari data ini, terlihat jelas sekali bahwa lebih 45% penduduk miskin itu adalah anak-anak usia sekolah/kuliah. Mereka adalah tulang punggung bangsa, tetapi mereka juga yang paling miskin. Walaupun demikian, kelompok penduduk ini yang memiliki peluang besar keluar dari kemiskinan. Semakin tinggi usia, maka peluang keluar dari kemiskinan makin kecil. 

Karena dua alasan di atas, maka semestinya kebijakan pembangunan dan anggaran fokus ke kelompok anak-anak. Adalah adil kalau komposisi anggaran pembangunan disesuaikan dengan komposisi kelompok penduduk di atas. Sehingga semestinya paling tidak 45% APBD (NTT/Kab/Kota) itu dialokasikan bagi penduduk usia sekolah/kuliah.

Kalau kita kembali ke formula GK, maka ini artinya terdapat 507,387 anak-anak yang mengkonsumsi makanan kurang dari 2100 kilokalori. Bisa jadi pemenuhan kebutuhan kalori mereka sedikit di bawah 2100 kilokalori tetapi tidak mungkin dibawah 1000 kilokalori. Ini artinya kita tidak butuh banyak tambahan makanan, cukup sedikit intervensi makanan bergizi. Bila kebutuhan makanan mereka terpenuhi, maka jumlah penduduk miskin yang yang tersisa adalah sekitar 11,85%, mendekati jumlah penduduk miskin nasional sekitar 10,7% pada tahun 2017. Kita fokus ke GKM karena kita tidak bisa menerapkan GKNM kepada anak-anak tanpa dikaitkan dengan orangtua mereka. Kemiskinan GKNM pada usia ini, misalnya kemiskinan karena kondisi perumahan, yang terkait dengan kemiskinan orangtua/wali. Jadi, intervensi yang utama untuk anak-anak adalah GKM, bukan GKNM. 

Lalu bagaimana solusinya?
Saya mengusul solusi praktis ala Jepang. Pasca kekalahannya pada perang dunia kedua, Jepang melihat bahwa pengembangan SDM adalah kunci kebangkitannya. Maka yang dilakukan pemerintah Jepang adalah:
1) Mengirim anak muda Jepang untuk belajar pada perguruan tinggi barat;
2) Memperbaiki gizi anak-anak Jepang dengan cara memberi makan satu butir telur/hari/anak. Kita juga bisa memakai ikan, mengingat potensi kita yang besar.

Kalau kita mengikuti langkah kedua, maka anggaran makanan yang kita siapkan per tahun:
1) Telur sebanyak 507.387 butir x Rp.1000 x 365 hari = Rp.185,2M atau Rp.8,4 M/kab/kota
2) Ubi ungu ¼ kg x Rp.1000 x 365 hari = Rp.185,2M atau Rp.8,4 M/kab/kota

Jadi, dengan total anggaran sekitar Rp. 17 Milyar/tahun/kab/kota, maka jumlah kemiskinan berdasarkan GKM akan berkurang 10% menjadi 11,85% dari 21,85%.

Sumber Anggaran?
Apakah anggaran sebanyak Rp.17 Milyar/tahun/kab/kota itu bisa dipenuhi? Jawabannya bisa. Kalau rerata belanja langsung kab/kota itu Rp.300 Milyar/tahun (contoh APBD Kab. Kupang tahun 2013, lalu kalau kita konsisten dengan komposisi alokasi anggaran per kelompok ketergantungan penduduk, seperti di atas, maka anggaran Rp. 17 Milyar/tahun itu baru sekitar 13% dari anggaran Rp. 300 Milyar. Jadi jumlah ini masih jauh dari komposisi penduduk usia sekolah/kuliah, sedikit di atas 1/3 dari total jumlah anggaran yang seharusnya dialokasikan bagi jumlah penduduk kelompok usia 0-19 tahun yang mencapai 45%.

Dampak lain?
Pengurungan angka kemiskinan di atas belum termasuk lowongan kerja yang tercipta bagi penduduk miskin:
1) Jika 1 KKMiskin mensuplai 50butir telur/hari, maka akan ada sekitar 10,146x2 KKM (suami dan istri) yang akan keluar dari kemiskinan dari usaha telur;
2) Jika 1 KKMiskin mensuplai 12,5 kg ubi ungu/hari, maka akan ada sekitar 10,146x2 KKM (suami dan istri) yang akan keluar dari kemiskinan dari usaha ubi ungu;
3) Jadi total KKM yang akan keluar dari kemiskinan adalah sebanyak 20,292 KKM atau 40, 587 jiwa atau sekiar 0,8% dari total penduduk miskin
4) Maka jumlah penduduk miskin NTT akan menjadi 10,05, artinya lebih rendah dari jumlah penduduk miskin nasional sebanyak 10,7%.

Kedua program (telur & ubi ungu) ini juga akan sangat berdampak bagi:
1) Pengurangan busung lapar akibat kurangnya pemenuhan gizi;
2) Penurunan drop out sekolah dan peningkatan angka partisipasi murni sebagai akibat dari meningkatnya insentif anak-anak untuk pergi sekolah;
3) Peningkatan prestasi anak-anak.

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba