Skip to main content

Pejabat bagi-bagi hasilkan generasi peminta-minta

saya sedikit anti dan tersinggung kalau ada pejabat publik yang bagi-bagi uang publicy. menurut saya itu penghinaan, atau kalau lebih halus itu strategi membangun ketergantungan dan membangun image bahwa dia baik. padahal sebetulnya pejabat tsb gagal memahami perannya. sang pejabat sudah diamanati dengan jabatan, anggaran, fasilitas dan personel utk melaksanakan berbagai pogram utk mengentaskan kemiskinan. kalau dia sukses, harusnya tdk ada lagi bagi-bagi uan/barangg publicly karena sdh tdk ada kemiskinan. tapi karena dia tidak mampu, maka dia bagi-bagi sbg strategi untuk menutupi kegagalannya. tanpa sadar, dia menempatkan rakyat sebagai peminta-minta.
*
bagi-bagi itu tidak baik manakala tidak jelas peruntukannya. sebagai orangtua atau paling tidak kita pernah kecil dan kita diajari bahwa uang itu tidak selamanya baik. anak kecil tidak boleh memiliki uang yang berkelebihan alias secukupnya. orang tua yang sayang akan anaknya akan mengajarkal hal ini. dalam kebanyakan kasus, si adik biasanya mendapat lebih sedikit uang dari pada si kakak. sudah terbukti banyak anak gagal dalam pendidikan bahkan kehidupan karena ketidaktepatan alokasi uang oleh orang tua. banyak juga kisah anak-anak disayangi (baca: dimanja) oleh orangtua dengan duit tapi gagal karena kurang kasih sayang. sebaliknya banyak anak yang sukses karena sangat paham bahwa dibalik uang ada keringat dan pengorban shg peruntukannya tidak boleh asal. dan bhw untuk memperolehnya diperlukan kerja keras, bukan minta-minta. 
*
banyak studi terkait program pemberdayaan masyarakat termasuk pemberian bantuan langsung tunai (blt) membuktikan bhw analogi ini benar. banyak bantuan berakhir tidak jelas. akibatnya pengentasan kemiskinan terus tidak efektif. ada penerima yang memperoleh terlalu sedikit dan ada penerima yang memperoleh terlalu banyak dari semestinya, dan ada penerima yang tidak seharusnya menerima bantuan. sedihnya, byk dana pemberdayaan itu dilihat sebagai 'uang gratis': tidak perlu serius mengelola dan tidak perlu dikembalikan. hal ini membudaya akibat ketidakeriusan pemerintah dalam mengelola dana pemberdayaan. yang salah tetap dibiarkan salah tanpa penegakan hukum. yang tidak serius mengelola bantuan terus saja diberi bantuan. ketidaktepatan alokasi adalah salah satu kunci gagal/sukses program pemberdayaan masyarakat. banyak pejabat bangga bagi-bagi uang tetapi sesungguhnya itu menyesatkan karena melahirkan ketergantungan. 
*
ada satu study baru yang menemukan bahwa budaya bagi-bagi di banyak negara di asia/afrika adalah salah satu penyebab kemiskinan (bisa dibaca disini https://goo.gl/YCev4R). sebaliknya study ini menemukan bahwa budaya kerja keras, menabung dan berharap pada diri sendiri adalah penyebab kemajuan barat. di asia/afrika itu bukan hanya kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga kaya dengan bantuan. namun, dampaknya kemiskinan manusia tetap menjadi momok berkepanjangan karena ketergantungan yang luas pada bantuan pemerintah. sedangkan di barat itu, khususnya yag terletak di kutup utara itu masa kerja biasanya hanya enam bulan, selebihnya musim dingin. sehingga orang barat harus kerja keras selama enam bulan agar tetap bisa bertahan hidup saat musim dingin tiba. budaya ini kemudian membentuk ornag barat menjadi tangguh, terbiasa menabung dan mandiri.
*
benar juga bahwa barat yang maju itu mengadopsi prinsip 'welfare state'. mereka yang tidak mampu secara fisik, tidak mempunyai penghasilan dan/atau tidak memiliki penghasilan yang layak itu mendapat bantuan dasar dari negara. kebijakan ini mirip dengan amanat uud1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar ditanggung oleh negara. maka, kita mengenal berbagai program untuk ini sepeti bantuan langsung tunai (blt), bantuan beras miskin (raskin), kartu indonesia sehat (kis), kartu indonesia pintar (kip), program keluarga harapan (pkh), bantuan rehabilitasi rumah, pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (https://goo.gl/QYygtZ), dll. anggaran semua program ini dari apbn/d dan adalah amanat undang-undang. program-program ini tidak diberikan sesuai dengan selera pribadi pejabat tertentu. artinya, dasar pemberian, penerima manfaat dan konsekuensinya itu sangat jelas.
*
namun pandangan saya mengenai bagi-bagi ini sedikit gugur manakala bagi-bagi uang itu punya peruntukan yang jelas dan terutama dalam rangka mendidik. saya pernah membaca kisah seorang hakim yang dengan berat hati menghukum denda seorang nenek yang melakukan kesalahan. si nenek ini sangat tidak mampu untuk membayar denda. namun demi keadilan maka hukum harus ditegakan. tapi kisah ini berubah menjadi haru saat si hakim yang mengambilalih beban si nenek. dengan memakai uang pribadi, si hakim membayar denda yang ia sendiri kenakan pada si nenek. bag-bagi disini adalah untuk menegakan hukum: yang salah dihukum, apapun resikonya.
*
inilah edukasi dan contoh yang seharusnya diikuti oleh para politisi kita. bahwa kalau tidak kerja, maka tidak makan. bahwa kalau salah, maka hukuman adalah tuaiannya dan kalau benar, maka upah menanti. bahwa hidup ini punya sisi rewards, juga sisi punishment. demikian juga kepemimpinan itu punya sisi rewards dan sisi punishment. mereka yang salah itu dihukum dan mereka yang benar itu diberi rewards. seperti hakim di atas, pemimpin bisa saja bagi-bagi, asalkan itu amanat publik dan harus siap kerja keras. bagi-bagi cukup menjadi perangsang untuk kerja-keras, bukan strategi utama survival. seorang pemimpim tidak takut dibenci dan tidak taku tidak dipilih saat pilkada karena tidak bagi-bagi. jika tidak kegagalan itu sdh pasti. ada yg mengatakan bhw pejabat yang gagal adalah yang mencoba menyenangkan semua orang. pejabat ini tidak punya arah, ia terombang-ambing bagaikan sebongkah kayu kering di tengah lautan. tidak jelas target/sasaran yang hendak ia capai.demikian juga dengan kekuasaan, mereka yang sudah gagal adalah yang mencoba meraih kekuasaan dengan membanjiri pemilih dengan bagi-bagi. 
*
faktanya, saat kampanye, banyak politisi yang suka pura-pura. pura-pura membenarkan kesalahan masyarakat demi pesta suara saat pilkada namun kemudian dengan tega menistai janji sendiri. yang lebih jahat lagi adalah pejabat yang memberi janji surga tanpa memahami kemampuan dia (baca: apbd dan regulasi) untuk memenuhi janjinya. mereka ini bukan pemimpin, entalah apa nama yang tepat untuk mereka. mungkin bisa disapa pemimpi, klo sapaan pemimpin penyogok terlalu kasar. mereka inilah politisi yang bisanya bagi-bagi; bagi-bagi jabatan, bagi-bagi proyek dan bagi-bagi fasilitas publik lainnya. mereka bukan pemimpin yang percaya bahwa diujung rotan ada emas'. 
*
mereka inilah tipe politisi instant yang 'tidak mau sakit terlebihi dulu agar bisa senang kemudian'. silakan ditelurusi, mereka ini kaya karena mewarisi harta orangtua yang berlimpah tanpa kerja keras atau kaya karena bisnis yang tidak jelas ujung-pangkalnya. maka wajar kalau kerja keras bukan nilai mereka. fokus sekarang adalah menciptakan imgae baik demi jabatan. sehingga mereka akan fight by hook or crook alias menghalalkan segala cara. jabatan melahirkan pejabat machiavellians: pejabat yang kelihatan baik tapi sebetulnya tidak. karena yang mereka bagi-bagi saat berkuasa itu adalah sumber daya publik, bukan milik pribadi. itu adalah uang (baca pajak) rakyat yang dibagi-bagi seakan-akan itu pemberiannya. mungkin mereka cukup disapa pejabat bagi-bagi, bukan pemimpin. mereka hanya bisa memikirkan kemenangan di pilkada, bukan masa depan generasi pasca pilkada. pejabat bagi-bagi ini melahirkan generasi peminta-minta.
*
salam dari taman takaro, palmerston north

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba