Perkiraan Ahok bahwa jakarta akan banjir pada pertengahan Februari terbukti benar. Perkiraan Ahok ini dikaitkan dengan kemarau panjang 2016 yang merupakan siklus lima tahunan la nina yang kemudian berganti menjadi el nina. Tidak salah kalau Wagub Djarot mengaitkan banjir tahun ini dengan banjir yang sama pada tahun 2012 lalu. Tetapi lebih lanjut Ahok menunjuk jari pada pemukiman di sekitar Ciliwung yang belum digusur. Bagi Ahok, penggusuran menjadi solusi pencegahan banjir.
Ini alasan teknis para politisi. Benar atau tidak alasan ini, banjir Jakarta telah dijadikan bahan tertawaan banyak orang. Masalah saat momen pilkadal menjadi senjata pamungkas untuk ‘menggagalkan’ lawan dan menjatuhkannya, tetapi belum tentu kebijakannya. Sedikit sekali yang menyadari fakta ini.
Pertama, pengendalian air yang turun melalui sumur resapan atau vertical drainage.
Kedua, penampungan melalui situ atau waduk.
Ketiga, membenahi penyerapan di daerah hulu.
Anies tidak merinci lebih jauh tentang:
- Berapa banyak air yang bisa diserap melalui ketiga jenis solusi.
- Berapa banyak volume air yang tidak bisa diserap.
- Seperti apa peluang banjir di masa yang akan datang kalau curah hujan meningkat.
Bagi mahasiswa kebijakan publik, ada berbagai variabel yang mempengaruhi kesuksesan suatu kebijakan. Kita bisa menganalis masalah banjir sebagai berikut.
Di sisi inputs (air masuk), paling tidak ada curah hujan dan tumpahan air dari hulu, sedangkan di sisi outputs (air keluar) ada kapasitas penyerapan air oleh tanah dan kecepatan/kelancaran pembuangan air ke laut.
Berdasarkan pemetaan sederhana ini, maka dapat dilihat bahwa Anies menawarkan solusi pada inputs dan outputs tetapi dia tidak melihat pemukiman di pinggir sungai sebagai masalah. Sedangkan Ahok hanya fokus pada outputs dengan melihat pemukiman di pinggir sungai sebagai masalah utama. Ini artinya solusi Anies lebih komprehensif dari pada solusi Ahok saat ini yang cenderung tunggal.
Dari perspektif resilience kebijakan, maka pilihan jatuh pada kebijakan Anies. Tetapi kebijakan penggusuran Ahok adalah juga untuk ‘memanusiakan’ manusia dengan memberi mereka pemukiman yang layak. Sebaliknya Anis tidak melihat pemukiman kumuh sebagai masalah.
Lalu apakah ini berarti Ahok telah gagal dan nanti Anis lebih sukses?
-
Mari kita kembali ke klaim ahok di atas, yaitu terkait perbedaan curah hujan saat la nina vs el nino. Klaim Ahok ini artinya bahwa kondisi existing Jakarta saat ini hanya bisa untuk menangangi banjir sekelas la nina, bukan el nino. Ahok juga mengklaim bahwa telah terjadi penurunan peristiwa, ketinggan dan waktu genangan banjir dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pertanyaan yang perlu dijawab dengan data adalah apakah penurunan ini terkait dengan penggusuran?
Pertama, hingga kini belum ada yang melakukan research untuk hal tersebut. Kita butuh data inputs - outputs yang jelas, tapi mungkinkah kita bisa memperoleh data yang pasti?
Kedua, ketiadaan dan ketidakpastian data di atas adalah salah satu alasan yang menggiring para pakar kebijakan publik mengkategorikan pendekatan kebijakan publik ke dalam rational approach dan sebaliknya ‘bounded rationality’ melalui incrementalism atau muddling through (Simon, 1955; Lindblom 1963).
Pada rational approach, tersedia data ex ante dan post ante yang pasti dengan dukungan legal-politis yang kuat yang bisa melahirkan perhitungan matematis dengan indikator sukses yang jelas. Sehingga para politisi tidak ragu-ragu dalam mengambil kebijakan.
Faktanya, tambah Lindblom, hampir semua kebijakan publik bisa dimasukan ke kategori kedua. Tidak ada kepastian data dan dukungan legal politis sangat dinamis dan bisa berubah.
Sebagai akibanya, pendekatan yang sering dipakai adalah groping along (Behn, 1988) alias ‘meraba-raba dalam kegelapan’ atau maju-mundur atau trial and error.
Bagaikan mengemudi kendaraan di saat hujan deras, maka kita berupaya untuk maju tetapi tidak dengan kecepatan tinggi. Sekali-kali kita berhenti lalu melakukan evaluasi akibat dari ketiadaan informasi tentang banyak hal seperti kondisi jalan yang ditutupi air dan kekuatan aliran banjir. Sehingga, waktu tempuh menjadi lebih lama dari yang ditargetkan.
Artinya, bisa jadi kebijakan yang kita tempuh sudah tepat, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama.
Ketiga, pendekatan Anies sendiri mirip ‘meraba-raba dalam kegelapan’. Tiga solusi yang ia tawarkan, sulit untuk didukung dengan perhitungan matematis yang bisa memberi kepastian waktu sukses.
Anies tidak punya rincian lebih jauh tentang efektiftas ketiga solusi di atas, bahkan jika ia memilikinya, kita tetap harus meragukannya dalam kondisi yang serba tidak pasti ini.
Apalagi dengan tidak melakukan penggusuran, maka peluang air meluap di masa yang akan datang semakin besar seiring dengan semakin padatnya pemukiman sepanjang sungai.
Sehingga, solusi Ahok bukan gagal, tetapi lebih tepatnya belum sukses. Sifat kebijakan cenderung incremental, bukan once-off problem solving. Mengingat dinamika sosial dan semakin sempitnya sungai, maka banjir tetap akan menjadi masalah tahunan di masa yang akan datang.
dipublikasi oleh https://kumparan.com/jermi-haning/dki-banjir-ahok-gagalkah tanggal 22 februari 2017
Comments
Post a Comment