Skip to main content

Dari Government (Oposisi) ke Governance (Komposisi)

Dari Government (Oposisi) ke Governance (Komposisi):
Reorientasi Peran Partai Politik

I. PENDAHULUAN

Sudahkah partai politik memainkan peranan yang semestinya dilakoni? Jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan ini tentu bervariasi. Mungkin ada yang bilang sudah, ada yang bilang belum atau ada yang bilang masih sebagian. Namun mungkin kebanyakan jawaban akan lebih cenderung jatuh pada pilihan ketiga.

Para pakar mengaitkan kecenderungan jawaban tersebut di atas dengan fenomena euphoria politik yang lahir setelah pengekangan politik praktis yang lama oleh rezim otoriter. Pengalaman sejarah kita memperlihatkan bahwa untuk jangka waktu yang sangat lama peranan partai politik direduksi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak ada ruang yang cukup untuk berkreatifitas. Semua aktifitas partai politik diawasi, dibatasi dan dikontrol secara ketat. Bahkan upaya penyusupan, pembusukan dari dalam hingga devide at empera para elite partai oleh alat-alat pemerintah sering mewarnai dinamika relasi para elite partai.

Akibatnya ketiga rezim penguasa yang otoriter tumbang, para elitepun tidak berdiam diri. Mereka berlomba-lomba memanfaatkan momen yang langkah itu untuk memunculkan identitas dan mendeklarasikan partai mereka. Tujuan utama yang ingin digapai lebih pada mengambilalih kekosongan yang ada secepatnya. Suatu target yang sangat masuk akal karena dengan kekuasaanlah partai politik bisa mewujudkan vis mereka.

Namun ternyata kita menyaksikan tontonan yang berbeda, cenderung menjijikan, tidak mendidik dan bahkan tidak mendukung perkembangan kehidupan berdemokrasi yang beradab. Keinginan besar partai politik untuk berkuasa membuat mereka lupa akan prosedur, nilai dan etika yang harus dijunjung tinggi. Tradisi ber-partai politik secara sopan, berbudaya dan demokratis yang belum terlembaga ditambah dengan target jangka pendek yang menyilaukan membuat partai politik lebih bersikap pragmatis, kurang visioner dan melupakan peranan yang semestinya mereka mainkan.

Kita bahkan melihat kecenderungan justifikasi alat (means) yang sangat lazim untuk mencapai tujuan (ends) yang dianggap baik. Aksi-aksi ”parlemen jalanan” oleh kader partai yang cenderung memaksakan kehendak, anarkis hingga violent merupakan tontonan hari-hari kita. Jalan pendek ini menimbulkan impak yang sangat merugikan bagi wacana dan perkembangan demokrasi ini masih terus berlangsung hingga sekarang ini.

Global Corruption Barometer 2005, misalnya, menyatakan bahwa partai politik masih menjadi lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran 1 sampai 5). Dalam laporannya partai politik di Indonesia banyak yang melakukan korupsi dengan 'menjual' kewenangan politik mereka untuk mendulang keuntungan. Sementara itu, parlemen menduduki peringkat di bawahnya dengan nilai 4,0, yang salah satunya ditandai dengan berkembangnya isu moral percaloan (Zuhro 2006)

Buah dari semua ini adalah hilangnya rasa percaya dan simpati terhadap partai politik. Rakyat menjadi jijik dengan berbagai perilaku elite partai yang cenderung menghalalkan sebaga cara untuk meraih kekuasaan dan memperkaya diri. Rakyat cenderung untuk melihat kehadiran partai politik sebagai pembuat masalah (trouble maker) dan bukan sebagai (probelm solver). Akhirnya bukan hanya partisipasi politik dan keanggotaan partai dari tahun ke tahun semakin menurun tetapi rakyat bahkan menjadi sangat alergi dan apatis dengan politik.

Inilah tantangan yang harus bisa dikelola partai politik. Penguatan masyarakat sipil yang menjadi alternatif lain sumber kesejateraan semakin memperlemah harapan rakyat terhadap partai politik. Untuk itulah paper ini tiba pada kesimpulan bahwa hanya melalui reorientasi partai politik terhadap kekuasaan dan semua manfaatnya dalam konteks governance.

II. DEMOKRASI DAN TANGGUNG-JAWAB PARTAI POLITIK

II.1. Demokrasi Transisi

Transisi demokrasi yang sedang terjadi, telah melahirkan implikasi yang beragam. Baik yang bersifat positif, dan tak terkecuali melahirkan hal-hal yang sifatnya negatif. Ketika muatan demokrasi tidak diarahkan kepada esensi yang sesungguhnya, maka sepanjang itulah demokrasi akan lebih terlihat dengan wajah yang amat garang. Penuh dengan teka-teki dan tidak jarang juga destruktif dan anarkhi.

Dalam konteks pemahaman yang seperti itulah, kita bisa menyebut bahwa demokrasi kita sedang bergolak, khususnya pasca tumbangnya rezim otoritarianis Orde Baru. Kemampuan kita, sebagai negara bangsa (nation-state), untuk keluar dari rintangan-rintangan tersebut adalah pertanda awal bahwa demokrasi kita sedang dan akan tumbuh di dalam yang subur. Namun sebaliknya, jika perintang-perintang bagi proses pembumian demokrasi itu tidak dapat diatasi, maka demokrasi kita akan jatuh pada lobang yang sama, yaitu penyanderaan demokrasi.

Realita perpolitikan kita, khususnya pasca 1998, roda reformasi dan demokrasi yang kemudian sebahagian diserahkan ke partai politik (parpol)-yang memang sebagai salah satu pilar demokrasi-, ternyata tak berjalan mulus. Kontrak demokrasi antara rakyat dan parpol dalam pemilu 1999, kemudian merenggang. Salah satu penyebabnya adalah partai politik kita yang tak mampu mengelola isu demokrasi itu sendiri dengan bijak dan cerdas pada tingkat internal partai untuk kemudian diformulasikan sebagai kebijakan politik partai. Partai sebagai pilar demokrasi, justru menjadi faktor yang menghambat. Dan kemudian partai tak lebih hanya sebagai ajang bagi pertarungan antara pemenuhan kepentingan segelintir elit dengan kepentingan rakyat.

Sudah sangat lazim kita dengar bahwa pada setiap partai ada kubu-kubu atau faksi-faksi. Utamanya itu terlihat dalam setiap momentum besar partai; katakanlah kongres, musyawarah nasional (munas), muktamar, dan lain-lain. Kubu-kubu tersebut berusaha untuk merebut simpati publik, dengan mengklaim sebagai pembaharu partai, pelaku reformasi partai. Akibatnya konflik terbuka pun terjadi dan akhirnya sampai ke meja pengadilan.

Fenomena ini adalah hal yang amat memalukan kita semua. Sebagai negara yang mengakui diri demokratis, harusnya perbedaan pendapat dikelola dengan baik. Memang dinamika kongres amat luar biasa dalam membawa “perpecahan” di tingkat partai. Fenomena ini mencuat ke permukaan lebih disebabkan karena semangat kongres lebih didasarkan hanya pada momentum untuk memilih ketua umum saja. Bukan sebagai ajang evaluasi partai, refleksi partai, dan konsolidasi dalam arti umum. Maka tak heran sejarah partai menjadi sejarah perpecahan, sejarah pergolakan.

Kejadian-kejadian yang seperti ini, sesungguhnya telah berlangsung dalam enam tahun belakangan ini. Disinilah kita melihat bahwa partai politik kita belumlah dewasa. Dan ini lebih disebabkan karena belum adanya pembaharuan dalam perilaku manusianya. Satu hal yang kita dambakan ke depan adalah adanya kedewasaan para elit Partai politik (parpol) lazimnya adalah sebagai sebuah “media” atau “alat” atau “saluran” untuk mendemonstrasikan lakon-lakon politik guna menggapai tujuan serta memenuhi keinginan dan kepentingan bersama.

Dalam paradigma semacam ini, posisi parpol sangatlah sentral. Menjadi fokus. Parpol adalah milik bersama. Tak ada pembatasan kepentingan individu.

Dengan bercermin pada apa yang disebut di atas, setidaknya ada dua alasan untuk mengatakan bahwa parpol kita dalam bahaya. Pertama, belajar dari pengalaman pada pemilu-pemilu yang lalu, parpol lebih condong pada perlakuan untuk pengeksploitasian kehendak rakyat dari pada sebagai media bagi perjuangan kepentingan rakyat. Partai politik dicitrai mengeksploitasi rakyat untuk berpihak kepadanya, khususnya pada saat pemilu. Lebih lanjut, rakyat akan tetap dininabobokkan pada posisi yang serba bodoh, seolah-olah menggantungkan nasibnya pada segelintir orang partai (elit), dan tidak tau apa-apa. Rakyat kemudian memiliki sejarah yang sangat jauh dari partai. Pada saat yang sama pajangan parpol kita sarat dengan kata-kata “demokrasi” “persatuan”, “amanat”, “reformasi” dan “karya” “keadilan” dan (bahkan) “pembaharuan”.

Kedua, parpol kita terkesan seperti sebuah “perluasan” kepentingan segelintir orang daripada penyederhanaan kepentingan bersama. Dalam konteks inilah, terjadi apa yang disebut personalisasi partai politik. Parpol seolah-olah dibuat hanya untuk mengadopsi kepentingan elit. Parpol mirip menjadi perusahaan yang sahamnya adalah dimiliki oleh individu atau kelompok. Adanya personalisasi atau pemilikan pribadi pada suatu partai politik tentu sama artinya dengan melakukan pembunuhan terhadap hakikat partai itu sendiri. Akan tetapi, hal itulah yang kini sedang terjadi.

Ketiga, kecenderungan penggunaan parpol hanya sebagai kendaraan bagi perebutan kekuasaan. Oleh karena itu, para elit kemudian berlomba-lomba dalam mengejar jabatan kunci dalam sebuah parpol, termasuk dengan cara-cara kotor dan sekaligus rangkap jabatan. Inilah yang menjadi pertanyaan besar dalam beberapa waktu ke depan ini.

Dalam konteks kekinian, realita seperti ini terlihat jelas dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sekali lagi, pemaknaan demokrasi oleh elit parpol kita kelihatannya kurang membumi. Kata demokrasi hanya tertera di atas kertas. Belum sampai pada tingkat praksis. Demokrasi telah direduksi. Ada banyak fakta-fakta yang menguatkan argumen bahwa demokrasi kita telah direduksi. Padahal, jika demokrasi telah direduksi, maka yang timbul adalah apatisme politik rakyat, timbul kecurigaan pada demokrasi itu sendiri. Pada posisi inilah demokrasi telah berubah manjadi demo-cracy. Sebuah kesempatan bagi terjadinya pembangkangan sipil. Dan pendegradasian nilai-nilai demokrasi oleh partai politik, dengan sendirinya akan membunuh idealisme demokrasi itu sendiri.

II.2. Peran Partai Politik bagi Demokrasi

Meskipun fungsi real partai politik bagi tumbuhnya demokrasi masih diperdebatkan, Randal (2002) menyebut tiga fungsi partai politik dalam mengembangkan demokrasi, baik itu di negara yang menganut sistem multipartai maupun tidak.

Pertama, fungsi representasi (representation), artinya partai bisa dijadikan sebagai kendaraan untuk mewakili penyaluran aspirasi pemilihnya. Aspirasi politik umat Islam berikut macam-macam variasi ideologinya, misalkan, bisa disalurkan dengan membentuk partai berideologi Islam. Kaum hawa bisa menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai yang memang menyuarakan kepentingan-kepentingan politik kaum perempuan.

Kedua, aspirasi dan kepentingan politik kaum pemilih selanjutnya diformulasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan partai yang lebih konkret yang disebut dengan fungsi agregasi (aggregation). Pada fungsi kedua ini para pemilih juga bisa menentukan ketua dan pengurus partai yang dianggap mampu mengaktualisasikan kebijakan partai yang mewakili aspirasi konstituennya. Artinya, pada fungsi kedua ini partai politik juga diharapkan mampu melahirkan dan merekrut calon-calon pemimpin nasional yang kredibel; partai dijadikan sarana sebagai penggodokan kader-kader pemimpin bangsa yang qualified.

Ketiga, partai politik juga bisa berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, baik itu sebagai oposisi atau ikut mengontrol dari dalam sebagai bagian dari eksekutif. Dengan tiga fungsi itu partai politik diharapkan mampu mengawal proses demokratisasi di sebuah negara; sehingga sebuah pemerintahan yang mengakomodiasi semua kepentingan anak bangsa, dipimpin oleh seorang yang kredibel dan pemerintahannya berjalan dengan demokratis dan bersih bisa diwujudkan.

III. APA YANG TERJADI DENGAN PARTAI POLITIK KITA?

III.1. Krisis Identitas dan Ideologi

Krisis identitas dan tak adanya ideologi adalah gambaran umum partai-partai politik saat ini. Hal ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi kekuasaan dari pada mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.

Pada masa sebelum tahun 1945, peran partai-partai politik kita jelas, yakni sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan. Tahun 1950, konteks parpol secara umum untuk mengisi kemerdekaan atau membangun Indonesia merdeka. Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, partai dituntut menjadi bagian dari revolusi yang belum selesai. Kemudian, pada zaman Soeharto, partai dituntut dan direkayasa sedemikian rupa untuk mendukung stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi.

Akibatnya, pilihan pemilih terhadap partai lebih banyak didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya tak rasional, seperti kultural, agama, dan ketokohan (figur yang populer), tanpa dilandasi pengetahuan yang memadai mengenai visi partai bersangkutan tentang masa depan bangsa ini.

Hal ini membuat energi parpol-parpol habis untuk soal-soal yang sifatnya tidak substansial. Konflik-konflik selalu muncul menjelang atau sesudah kongres atau muktamar partai karena tidak ada diskusi atau perdebatan yang signifikan dalam partai mengenai soal-soal yang lebih mendasar. Yang ada hanya ribut-ribut bagi kekuasaan, seperti siapa yang menjadi ketua umum. Tidak adanya identitas ini menambah derajat kompleksitas persoalan di dalam partai, di luar persoalan-persoalan seperti kepemimpinan dan demokrasi internal yang tak kunjung muncul di dalam partai, sehingga akhirnya juga memengaruhi kinerja partai secara keseluruhan.

Dalam konteks yang lebih spesifik, krisis identitas ini antara lain bisa dilihat dari sifat keanggotaan partai-partai politik yang tidak jelas akan dikembangkan ke mana, yakni apakah akan membuat partai kader atau partai massa, atau gabungan kedua-duanya? Contoh partai massa adalah PKB dan PAN. Sedangkan contoh partai kader adalah PKS, di mana jelas ada kader-kader yang dibina. Tidak jelasnya sifat keanggotaan itu disebabkan oleh basis massa yang tidak jelas, kecuali partai-partai yang sejak awal identifikasinya memang kultural, seperti PKB dengan basis massa Nahdiyyin dan PAN dengan basis massa Muhammadiyah-nya.

Sedangkan gabungan partai kader dan partai massa, atau dikenal dengan istilah catch all party (partai yang merangkul semua), berkembang antara lain di Eropa. Dalam partai semacam ini, partai tetap mengembangkan sistem pengaderan, tetapi di sini lain juga mengembangkan pola massa. Dalam seleksi kepemimpinan, tak ada persoalan dalam partai kader karena sudah jelas jenjangnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi ribut-ribut seperti terjadi dalam kongres atau muktamar PKB, PAN, atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) lalu. Bedanya dengan partai massa, di partai massa siapa pun bisa menclok sebagai elite partai tanpa harus melalui ikatan jenjang pengaderan berkala. Artinya, kalau suatu partai melihat ada tokoh populer dari luar yang bisa dimanfaatkan sebagai pemimpin partai, ia bisa ditempatkan di situ.

Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak lebih hanya aksesori, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu hanya simbolis. Contohnya adalah apa yang terjadi di PDI-P. Kalau memang benar PDI-P sungguh commit pada wong cilik, mengapa itu tidak tercermin dalam tingkah laku para elite atau kebijakan di legislatif? Juga kenapa kalau ideologisnya nasionalis, pada pemerintahan Megawati, banyak aset negara dijual?

Elite partai harus mampu melihat kembali apakah ideologinya itu masih relevan. Ideologi harus menjadi semacam safety belt dalam situasi seperti apa pun. Di PAN, hal itu ditunjukkan oleh sikap PAN dalam penyusunan calon anggota legislatif yang masih melihat apakah calon bersangkutan Muhammadiyah atau bukan. Padahal, partai ini selalu mengklaim dirinya sebagai partai terbuka. Hal yang sama terjadi di PKB.

Apa yang disebut sebagai ideologi oleh partai-partai yang ada sekarang ini baru sebatas rumusan dan belum merupakan nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader. Dari puluhan partai yang ada, baru PKS yang dinilai memiliki konsep nilai-nilai yang diinternalisasikan ke para kader ini dan dilaksanakan.
Sementara partai-partai politik yang lain terlalu pragmatis dan menjurus sangat oportunistis sehingga yang ingin dicapai hanya jalan pintas untuk berkuasa. Partai menjadi satu- satunya instrumen yang bisa mengubah nasib orang yang tak jelas menjadi orang yang berkuasa.

Karena itu ke depan, partai-partai politik akan disaingi oleh tokoh-tokoh individual yang bisa jadi lebih besar dari partainya itu sendiri. Contohnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan Partai Demokrat-nya pada pemilihan presiden langsung tahun 2004 lalu. Hal sama bisa terjadi pada pemilu legislatif jika pemilu legislatif nanti dilakukan lebih langsung

III.2. Keterbatasan Sumber Daya

Secara umum dapat dikatakan bahwa konflik-konflik yang bervariasi itu sebagian terkait dengan belum berlangsungnya pelembagaan partai hingga betul-betul menjadi sebuah partai politik yang merupakan gejala politik modern. Ini barangkali terkait dengan masalah waktu. Dibutuhkan waktu yang cukup agar politik kepartaian kita terlembaga.

Pada tingkat normatif, partai-partai politik yang ada sekarang belum menunjukkan identitasnya sebagaimana biasanya terumuskan dalam platform masing-masing partai. Dalam hal platform, sesungguhnya tidak begitu jelas perbedaan, setidaknya antara PDI-P, Golkar, PAN, dan PKB. Semuanya berorientasi kebangsaan; semuanya mengklaim akan memperjuangkan ekonomi kerakyatan, misalnya. Ini kemudian membuat identitas partai menjadi kabur. Tidak ada perbedaan antara menjadi seorang PDI-P dibanding menjadi seorang Golkar. Karena kaburnya platform ini, maka partai tidak punya kemampuan untuk melakukan seleksi alamiah terhadap orang-orang yang akan masuk ke dalamnya.

Rendahnya daya seleksi ini terkait erat dengan terbatasnya sumber daya uang dan sumber daya manusia di partai ini. Semua orang maklum bahwa Orde Baru dan Golkar-nya punya kemampuan menyedot putra- putri terbaik bangsa ini, dan juga punya kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap kegiatan bisnis besar. Akibatnya, sumber daya manusia dan sumber daya keuangan hampir terkuras masuk ke dalam jajaran Orde Baru, dan sebaliknya kekuatan-kekuatan politik lain yang mencoba independen dari Orde Baru seperti PDIP menghadapi kesulitan kader dan sumber daya keuangan.

Di penghujung rezim Soeharto PDIP berupaya memecahkan kedua persoalan di atas. Namun, kedatangan mereka yang relatif tidak berkeringat langsung ketika partai ini berada pada masa kritis zaman Orde Baru tentu memunculkan persoalan baru. Mereka akan dirasakan, menggeser kader-kader lama dan setia pada Megawati. Gesekanpun sering tak bisa dihindarkan.

Hal yang mirip juga dapat ditemukan pada PKB. Platform partai ini pada dasarnya tidak berbeda dengan platform PDI-P. Berorientasi kebangsaan dan kerakyatan. Dalam PKB, yang penting bukan hanya masalah keterbatasan sumber daya manusia dan uang, tapi juga ke-NU-an. Ia merupakan sumber bagi mobilisasi massa, dan karena itu pula derajat ke-NU-an seorang kader PKB merupakan faktor bagi bargaining dalam rekrutmen ini.

Untuk menjadikan PKB besar dan terbuka, secara perlahan rekrutmen terhadap kader-kader baru yang hubungannya dengan massa nahdliyin relatif longgar, terutama lewat inisiatif Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), tak bisa dihindarkan. Kehadiran Alwi Shihab yang identitas sosial-politik ke-NU-annya dikenal tidak setebal Matori Abdul Djalil atau Muhaimin Iskandar misalnya, direkrut Gus Dur untuk menjadi orang kepercayaannya di PKB. Kehadiran Alwi ini memunculkan dinamika baru. Setidaknya ia menggeser Matori sebagai orang kepercayaan utama Gus Dur dalam perpolitikan jamaah nahdliyin.

Faktor penting lain yang membuat sulitnya pelembagaan partai-partai politik adalah masih bergantungnya sebagian besar partai besar baru pada ketokohan tertentu. PDI-P sangat bergantung pada kharisma Megawati, PKB pada Gus Dur, dan PAN pada Amien Rais. Tiga figur ini tampaknya lebih besar daripada partainya sendiri.

Dalam formative period, ketokohan menjadi faktor pengikat terpenting bagi soliditas partai, dan partai-partai kita masih berada pada periode ini, kecuali barangkali PPP dan Golkar. Karena itu, kalau terjadi persaingan di antara elite yang melingkari sang tokoh, itu merupakan hal yang biasa. Kalau persaingan ini memunculkan konflik yang serius, misalnya lahirnya dualisme kepemimpinan, hal itu sebagian terletak pada kultur politik para elite tersebut yang belum biasa memperlakukan konflik sebagai hal yang biasa, yang biasa dinegosiasikan, dan sumber bagi kematangan partai politik.

III.3. Sentralisasi Kekuasaan

Perburuan kursi penguasa lokal oleh para elite parpol manjadi upaya strategis akhir-akhir ini. Fenomena yang sangat nampak adalah intervensi elite Jakarta yang sangat kuat, bahkan menentukan. Hegemoni Jakarta begitu kuat mencengkeram politik lokal. Para elite partai- partai tertentu, bahkan yang merupakan pejabat publik, turut sibuk berebut pengaruh.

Fenomena ini memperlihatkan makna ganda, bagaikan dua sisi mata uang. Satu sisi memperlihatkan tak berdayanya daerah menghadapi cengkeraman kekuasaan pusat. Sisi lainnya adalah betapa tidak tolerannya elite partai di pusat terhadap penampakan "yang lain". Bagi elite partai yang bisa dikatakan tidak demokratis ini, kelainan merupakan sesuatu yang menakutkan, yang membahayakan. Elite partai seperti ini dapat dikatakan terkena heterofobia, yaitu adanya rasa takut akan keberadaan yang lain. Bagi mereka, segala aspirasi yang berbeda dengannya harus "dibereskan". Aspirasi daerah hanya bisa terwujud apabila sesuai dengan keinginan elite partai di pusat. Apabila bertentangan, elite daerah harus menahan diri atau dipecat, atau mendapat sanksi lain.

Otonomi yang telah bergulir sejak Januari 2001 ternyata hanya berlaku di pemerintahan, berupa pelimpahan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara di luar jalur birokrasi, misalnya di partai politik, sistem yang berjalan masih sentralistis. Daerah hanya menjadi obyek eksploitasi elite pusat guna mencapai target politiknya. Dalam jangka panjang, apa akibat negatif dari fenomena tersebut?

Dominasi elite pusat berakibat negatif bagi daerah, yaitu munculnya kembali mental budak. Mental yang pernah mewarnai kehidupan manusia Indonesia sebagai akibat penjajahan ini kemungkinan akan menampakkan dirinya kembali dalam kepribadian bangsa Indonesia di beberapa daerah kalau elite pusat tetap menancapkan hegemoninya dalam politik daerah. Kreativitas dan inisiatif daerah akan hilang.

Elite politik di daerah hanya berfungsi sebagai boneka yang bergerak hanya atas pengarahan, rekomendasi, dan perintah dari elite politik di pusat. Daripada menghadapi risiko pemecatan atas inisiatif yang bertentangan dengan keinginan pusat, elite daerah akan menempuh langkah aman menunggu titah sang penguasa.

Selain berakibat negatif bagi daerah, dominasi elite pusat dalam perpolitikan daerah juga akan menimbulkan hal negatif bagi elite pusat itu sendiri. Pertama, melahirkan cara berpolitik otoriter-sentralistis. Elite partai di pusat akan menjadi "yang mahakuasa" bagi elite partai di daerah. Mereka bisa memaksakan suatu kebijakan sekehendak hatinya.
Kedua, memunculkan egoisme pribadi di mana kepentingan daerah dikorbankan demi ambisi elite pusat. Daerah hanya menjadi computerized machines yang selalu siap menjalankan program- program yang dirancang oleh segelintir pemrogram, yaitu lapisan tipis elite pusat. Segala hasil dari program yang dijalankan dinikmati elite pusat, sedangkan daerah tidak mendapatkan apa pun.

PARTAI-partai yang para elitenya heterofobia, otoriter-sentralistis, dan egois sesungguhnya tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Mereka mengira sedang melakukan konsolidasi, mengonstruksi bangunan partai yang tinggi menjulang, padahal fondasi dari bangunan tersebut sedikit demi sedikit keropos digerogoti oleh perilaku mereka sendiri, sehingga akhirnya bangunan tersebut runtuh menimbun segala ambisi dan keangkuhan mereka.

Sementara elite daerah dan konstituennya lambat laun akan terbangun dari tidurnya dan bergegas meninggalkan bangunan partai yang sebelumnya dicintainya untuk kemudian pindah ke partai lain yang lebih demokratis, yang menghargai mereka sebagai manusia, bukan sebagai computerized machines. Kepergian konstituen yang telah diperlakukan tidak adil inilah yang membuat bangunan partai yang tinggi menjulang tersebut runtuh.

Di era demokrasi ini, partai yang berjaya di masa depan hanyalah partai yang berperilaku sesuai dengan tiga hal. Pertama, memperlakukan konstituennya secara adil dengan cara memenuhi segala sesuatu yang dijanjikan dalam pemilu. Sekarang ini rakyat Indonesia cukup memiliki kemampuan untuk menilai apakah suatu partai memenuhi janji yang diucapkan pada saat pemilu ataukah mengingkarinya.

Kedua, memperlakukan seluruh warganya sebagai manusia yang bukan semata-mata alat pencapaian kekuasaan. Partai yang akan menjadi besar adalah partai yang para pengurusnya di daerah merasakan kepentingannya terakomodasi dalam kebijakan partai dan tidak "terbunuh" oleh kepentingan elite pusat.

Ketiga, memberi ruang bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kebijakan partai. Dengan adanya kesempatan bagi masyarakat (individu luar partai) untuk berperan serta aktif dalam suatu kebijakan, maka partai tersebut akan mendapat simpati dari masyarakat luas. Ide konvensi yang dicetuskan Partai Golkar adalah contoh konkret bagaimana partai membuka ruang bagi masyarakat luas untuk berperan serta aktif.

Kunci agar ketiga perilaku di atas bisa diterapkan adalah pada penerapan program desentralisasi di tubuh partai politik. Elite partai di daerah sepatutnya mendapat otonomi luas untuk menentukan sendiri kebijakan partai di daerahnya. Tentu saja ada kebijakan yang tetap menjadi wewenang pusat. Namun untuk kebijakan yang bisa dilakukan oleh daerah, sepatutnya elite daerahlah yang menentukannya.

IV. BERBAGAI FUNGSI PARTAI POLITIK

IV.1. Perspektif Teoritis

Tidak dapat dipungkiri bahwa bergulirnya reformasi telah memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan politik nasional, terutama berkaitan dengan jaminan keberlangsungan proses demokratisasi. Dan tidak dapat dipungkiri pula bahwa reformasi telah mclahirkan ratusan partai baru di Indonesia. Banyaknya jumlah partai merupakan asset politik yang tak temilai bagi suatu bangsa. Dengan banyaknya jumlah partai politik berarti akan banyak aspirasi politik dari masyarakat yang dapat diserap. Banyaknya jumlah partai politik juga akan menjamin berlangsungnya proses sosialisasi dan pendidikan politik. Dan yang tak kalah pentingnya, kondisi mi juga akan memungkinkan terciptanya sebuah perpolitikan nasional yang demokratis.

Narnun sebaliknya, banyaknya jumlah partai politik juga dapat memunculkan konflik dan perpecahan dikalangan masyarakat, seperti yang terjadi pada masa demokrasi parlementer. Kondisi ini tentunya akan berakibat buruk pada proses demokratisasi. Untuk mencegah munculnya dampak negatif dari banyaknya jumlah partai disuatu negara, yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan fungsi yang dimiliki oleh partai politik. Maksimalisasi fungsi partai politik merupakan syarat dasar dalam mengeliminir side effect dari banyaknya jumlah partai. Berkaitan dengan itu, berdasarkan berbagai literatur ilmu politik, ada beberapa fungsi [yang harus dimaksimalisasi] dari sebuah partai politik, yaitu;

Pertama, partai politik berfungsi sebagai sarana komunikasi politik. Dalam hal ini, partai politik merumuskan usulan-usulan kebijakan yang bertumpu pada aspirasi dari masyarakat. Kemudian rumusan tersebut diartikulasikan kepada pemerintah agar dapat dijadikan sebagai sebuah kebijakan. Proses ini menunjukan bahwa komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat dapar dijembatani oleh partai politik. Dan bagi partai politik mengartikulasikaii aspirasi rakyat merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat dielakkan, terutama bila partai polirik tersebut ingin tetap eksis dalam kancah politik nasional.

Kedua, partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik. Dalam kaitan ini, parpol berkewajiban untuk mensosialisasikan wacana politiknya kepada masyarakat. Wacana politik dari sebuah partai politik dapat dilihat melalui visi, misi. platform dan program partai tersebut. Dengan sosialisasi wacana politik ini diharapkan masyarakat akan menjadi semakin dewasa dan terdidik dalam politik.

Ketiga, partai politik, berfungsi sebagai sarana rekruitmen politik, dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan te rjadinya rotasi clan mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut.

Keempat, partai politik berfungsi sebagai sarana peredam dan pengatur konflik. Dengan fungsinya sebagai penyerap aspirasi masyarakat, maka partai politik hams peka dan tanggap terhadap potensi-potensi konflik yang ada dalam masyarakat. Dan karena partai politik cenderung inklusif, menjadi kewajiban partai politik untuk meredam dan mengatur potensi konflik tersebut agar tidak meledak menjadi sebuah riot.

Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemilu, fungsi partai politik juga berpengaruh secara signifikan terhadap suksesnya proses penyelenggaraan pemilu. Sukses penyelenggaraan pemilu dimaksud adalah tmgkat keberhasilan pemilu yang ditakar secara kuantitas dan kualitas politik. Realisasi fungsi partai politik akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Keberfungsian partai politik juga akan menentukan apakah pemilu yang diselenggarakan tersebut merupakan proses politik yang mendidik dan mendewasakan politik masyarakat atau hanya pesta politik belaka.

Dalam beberapa pemilu terakhir ini, realitas politik menunjukan bahwa sebagian besar partai politik tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Partai politik masih menerapkan pragmatisme politik semata ketimbang mengimplementasikan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Kondisi ini terutama terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana sosialisasi dan pendidikan politik sangat minim sekali [bahkan nyaris tidak ada]. Partai politik masih berparadigma konvensional, yang menempatkan kampanye sebagai ajang unjuk kekuatan {show of forces} ketimbang wahana penyampaian wacana politik dalam rangka pendidikan politik bagi masyarakat.

Begitupula halnya dengan realisasi dari fungsi partai politik sebagai peredam dan pengatur konflik. Partai politik belum bisa menempatkan diri sebagai sebuah institusi politik yang inklusif yang menampung aspirasi masyarakat dan mendeteksi secara dini potensi dan gejala munculnya konflik dalam masyarakat. Bahkan, kerap kali partai politik terlibat langsung dalam konflik atau menjadi biang keladi munculnya sebuah konflik dalam masyarakat. Dan kondisi ini terlihat jelas dalam tahapan kampanye, dimana terjadi konflik terbuka antar partai yang memunculkan konflik antar kelompok masyarakat.

IV.2. Perspektif Empiris

Dari semua fungsi itu, yang sudah dijalankan oleh partai- partai politik di Indonesia baru rekrutmen, dalam arti menempatkan orang-orang jika ia berhasil memobilisasi massa untuk berkuasa. Kegagalan partai- partai politik menjalankan fungsi yang lain disebabkan mereka tidak memiliki ideologi atau cita-cita partai yang inklusif dan dilaksanakan dengan baik. Mal-fungsi dan partai politik [terutama dalam fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik serta sarana peredam dan pengatur konflik] ini terjadi karena berbagai sebab.

Pertama, kemunculan partai yang lebih disebabkan oleh eufora politik semata, bukan dilandasi oleh kebutuhan dan pemikiran politik yang dewasa. Hal ini menyebabkan partai-partai tersebut cenderung emosional dan reaktif dalam berpolitik.

Kedua, sebagian besar partai politik tidak memiliki visi, misi, platform, dan program yang jelas. Ini merupakan dampak turunan dari kemunculan partai politik itu sendiri yang dilandasi oleh euforia politik. Akibatnya tidak ada wacana politik yang dapat ditawarkan kepada masyarakat, hanya konvoi dan arak-
arakan saja. Dalam kaitan itu, partai politik tidak melakukan pendewasaan politik tetapi melakukan pembodohan politik kepada masyarakat.

Ketiga, struktur dan infrastruktur politik yang dimiliki oleh sebagian besar partai politik [baru] sangat tidak memadai bagi terealisasinya fungsi-fungsi dari partai politik. Hal ini dimungkinkan karena usianya yang masih relatif muda, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mematangkan dan menguatkan struktur dan infrastruktur partai politik sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Keempat, sebagian partai politik masih cenderung memiliki pemikiran politik yang kurang dewasa, terutama menempatkan pemilu sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan semata. Pemilu hanya dilihat sebagai alat untuk mendapatkan jatah kursi di legislatif. Fungsi lain dari pemilu diabaikan begitu saja. Akibatnya, partai-partai politik terjebak pada pragmatisme dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan.

V. PARTAI POLITIK DALAM GOOD LOCAL GOVERNANCE

Terlepas dari pengalaman beberapa pemilu yang tidak demokratis di Indonesia, keyakinan bahwa untuk menjaga negara tetap demokratis melalui pemilu tetap menjadi pegangan, paling tidak bagi elite politik kita. Sejalan dengan itu, maka keberadaan partai politik sebagai ornamen yang tidak bisa dihilangkan dalam pemilu itu sendiri menjadi suatu keniscayaan. Namun, apakah memang pemilu dan partai politik menjadi satu-satunya wadah di mana demokratisasi suatu negara dapat terwujud?

V.1. Bukan Sekedar Pemerintahan

Istilah governance belakangan ini menjadi tren di kalangan ilmuwan sosial, administrasi publik, hukum maupun politik (Kersbergen 2002:15). Di Indonesia, lembaga pemerintahan yang secara khusus telah memperkenalkan istilah ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dengan good environmental governance-nya (GEG). Sayangnya, pada saat mencari padanannya, maka dipakai istilah ke-adi tataprajaan lingkungan. Ada nuansa dan konotasi yang sebenarnya berbeda antara governance dan ketataprajaan.

Governance memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar government. Sayangnya di Indonesia, government dengan gampang diartikan sebagai pemerintah. Pengertian ini memberikan semangat bahwa ada pihak yang diperintah dan ada pihak yang memerintah. Pihak yang diperintah lebih rendah posisinya dibandingkan dengan pihak yang memerintah. Governance sebenarnya lebih menekankan kepada situasi atau proses agar terciptanya suatu keteraturan. Dalam kondisi keteraturan yang dicita-citakan tersebut, maka menjadi tidak penting lagi pihak manakah yang harus dominan dan berperan. Sebaliknya, apakah proses keteraturan itu dapat dipertahankan menjadi lebih utama.

Dapur umum dan tindakan masyarakat untuk saling membantu jika terjadi bencana alam adalah tindakan yang dapat menjadi contoh sederhana bagaimana governance terwujud. Bandingkan pula dengan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk membagikan beras murah yang selalu malah bermasalah. Peranan mereka sebenarnya tidak kecil untuk bisa mengatur dirinya sendiri. Bahkan, sering kali justru campur tangan negara dalam situasi yang sudah diatur masyarakat malah membuat situasi makin tidak karuan.

Kemampuan mengatur diri sendiri dan ketidakberdayaan pemerintah telah memunculkan mekanisme baru. Mekanisme itulah yang oleh beberapa orang disebut sebagai governance (Rhodes 2001: 56). Istilah ini juga merujuk kepada kegagalan sistem negara kesejahteraan yang disertai dengan bangkitnya aliran liberalisme-demokrasi untuk lebih memberi peranan kepada pasar. Globalisasi juga memberikan dalam integrasi satu negara dengan negara lainnya sehingga banyak ketentuan yang tadinya dibuat secara mandiri oleh negara terpaksa harus disesuaikan dengan aturan yang berlaku di pasar dunia (Hirst 2001: 15).

Yang pasti ketiga unsur yang saat ini ada dalam masyarakat, yaitu pemerintah, dunia bisnis, dan civil society menjadi pihak yang ikut bermain dalam governance. Dengan demikian, istilah ketataprajaan bagi governance kurang cocok karena masih sangat terlalu berpusat pada pemerintah (state-centric) dan terkesan sangat "Jawa".

V.2. Governance Sebagai Wajah Baru Demokrasi

Sistem demokrasi lama yang ditunjukkan oleh pemilu yang demokratis, peranan partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat hingga adanya kebebasan bagi pendirian partai politik telah dirasa hanya merupakan sepertiga bagian dari demokratisasi dalam governance. Partai politik tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya penyalur aspirasi rakyat, bahkan dengan semakin menurunnya jumlah pemilih di dalam pemilu telah menjadi salah satu indikator bahwa rakyat tidak lagi sepenuhnya percaya dengan sistem kepartaian yang ada. Penguatan kelompok masyarakat, baik yang berbasis etnis, agama, atau bahkan kewilayahan, serta berbagai identitas politik lainnya, seperti jender dan bahasa menjadi agenda yang lebih penting dari sekadar pendirian partai politik atau pemilu itu sendiri.

Partai politik dalam kesehariannya (day-to-day government) telah memiliki sistem yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya. Proses penggantian beberapa pimpinan partai dalam tingkatan lokal yang ternyata tidak sesuai dengan kehendak pusat telah semakin menjauh sebuah partai dari lokalitasnya. Sebangun dengan itu, aspirasi rakyat juga sudah tidak lagi menjadi keprihatinan para pengendali partai politik, kecuali pada saat kampanye saja. Oleh karena itu, perlu adanya rekayasa ulang pengaturan masyarakat (re-engineering).

Rekayasa itulah yang kemudian dicoba untuk diatur ke dalam prinsip yang diterima masyarakat dunia, yaitu sustainability, subsidiarity, equity, efficiency, transparency dan accountability, civic engagement dan citizenship, serta security. Ketujuh prinsip tersebut tidak saja harus dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi juga sebagai prinsip yang harus dipegang dan dilakukan secara bersama ketika terjadi kesepakatan untuk melaksanakan sebuah proyek demi kepentingan bersama.

Saat ini misalnya, sudah mulai banyak muncul tudingan bahwa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memperjuangkan demokratisasi, ternyata justru di dalam tubuhnya sendiri sangat tidak demokratis. Peranan ketua dewan penyantun, misalnya, bisa lebih otoriter daripada pimpinan suatu partai politik. Belum lagi jika prinsip itu juga harus diterapkan pada perusahaan yang diyakini masih menjadi wilayah privat.

Selanjutnya, jika ini kemudian menjadi tren baru dalam proses pengaturan publik (New Public Management), maka seiring dengan berkurangnya peranan negara dalam pengaturan publik, demikian juga dengan peranan partai politik. Peranan DPR sebagai lembaga pembuat undang-undang harus didekonstruksi sehingga ketentuan yang dihasilkan haruslah ketentuan yang sudah melalui proses governance dan tidak sekadar tarik-menarik kepentingan yang bisa dimainkan elite partai politik sesuai dengan besaran amplop yang tersedia untuk itu.

Hal ini juga akan mengurangi jumlah partai politik yang sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah partai karena hanya sebagai upaya bagi orang tertentu untuk bisa mendapatkan dana bantuan dari pemerintah (baca: rakyat). Lebih jauh lagi, pemilu benar-benar menjadi sarana bagi partai politik yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan bukan sekadar mencari jabatan dan uang dalam lembaga legislatif dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Governance juga dengan sendirinya akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang terkena dampak dari keputusan tersebut. Proses pendekatan pengambilan keputusan dengan masyarakat yang terkena keputusan tersebut diyakini akan menjadikan mekanisme pengawasan dan kontrol juga menjadi lebih baik.

Dengan demikian, jika Indonesia ingin mengikuti jalan yang saat ini tengah ditempuh oleh negara maju, dengan berbagai penyesuaian tentu saja, maka governance menjadi salah satu alternatif yang layak untuk dipertimbangkan. Ada beberapa alas an terhadap pernyataan ini.

Pertama, partai politik yang ada saat ini dan sampai kini diyakini malah semakin menjauh dengan rakyat yang diwakilinya.
Kedua, dengan kemajemukan masyarakat Indonesia membuat partai politik yang ada tak bisa lagi menjadi "wakil-wakil" mereka karena memang tidak memiliki kemampuan adaptasi lokal.

Ketiga, kenyataan bahwa masyarakat sudah semakin berkembang dan sebenarnya memiliki kemampuan untuk bisa mengatur dirinya sendiri dalam komunitas tertentu (self-governing society) akan sangat membantu proses desentralisasi yang saat ini sedang terjadi.

Keempat, proses desentralisasi itu sendiri justru akan memperkuat rasa kesatuan sepanjang mekanisme governance yang dilakukan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama mereka yang tersingkir selama ini oleh proses nasionalisasi peranan. Oleh karena itu, ada baiknya memang kita mengurangi peranan partai politik untuk mengatur kehidupan kita dan lebih mempercayakan diri kita kepada proses pengaturan bersama yang kita temukan dalam mekanisme governance sesuai dengan prinsip-prinsip tadi, dan tidak menggantungkan diri pada partai politik meski katanya sudah berganti paradigma baru.

V.3. Lalu Kemana Partai Politik?

V.3.A. Pelajaran dari Partai Keadilan Sejatera

Ada asumsi yang berkembang bahwa partai politik berbasis agama selalu menghalang-halangi demokrasi. Partai agama dipandang sebagai penghalang tumbuhnya demokrasi dan pluralisme. Apalagi di media-media Barat berkembang isu yang mengatakan bahwa Islam tidak compatible dengan demokrasi.

Sebagai partai yang berbasis Islam, kemunculan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara tidak langsung berperan mengubah sikap negatif terhadap Islam yang dipandang sebagai agama yang menghalangi demokrasi. PKS dipandang sebagai partai Islam yang ingin menyalurkan aspirasi umat Islam lewat jalur demokrasi dan parlemen secara legal bukan lewat kekerasan dan jalur 'parlement jalanan'. PKS tidak hanya mampu menghilangkan stigma politik bahwa umat Islam hanya mampu menyalurkan aspirasi politiknya lewat anarki, tetapi PKS juga mampu menampilkan diri sebagai partai politik Islam yang santun dan bersih.

Meskipun partai ini masih terbilang partai muda dalam perpolitikan Indonesia, partai ini mempunyai masa depan yang cerah. Bahkan, Prof. James J. Fox, dari ANU, menilai bahwa PKS bukan hanya berpotensi turut aktif dalam perdebatan-perdebatan mengenai pemerintahan yang sedang terjadi di dunia Islam, tapi diharapkan mampu mengambil peranan kepemimpinan umat Islam untuk masa depan.

Penilaian Fox diatas tampaknya bukan tanpa alasan, ada beberapa hal yang bisa dijadikan ukuran mengapa PKS diharapkan mampu menjadi partai besar di masa yang akan datang.

Pertama, proses kaderisasi dan regenerasi di partai ini berjalan sangat baik dan dilakukan secara terus menerus. Bahkan lima tahun ke depan PKS menargetkan mampu merekrut 2,5 juta kader. Meskipun pemilihan ketua umumnya tidak dilakukan pada musyawarah nasional seperti partai-partai lain, proses regenerasi partai ini tidak menimbulkan konflik internal partai. Tak heran kalau munas pertamanya yang diselenggarakan akhir bulan Juli lalu dipandang sebagai 'resepsi' partai, karena memang 'akadnya' (pemilihan ketua umum) sudah dilakukan sebelumnya.

Kedua, PKS tampaknya merupakan partai pertama di Indonesia yang mampu membuat grand design Indonesia ke depan. Design itu berisi hal-hal ideal bagi Indonesia yang memiliki national character, bermartabat, berkeadilan, serta masyarakatnya lebih sejahtera secara ekonomi.

Untuk mencapai harapan itu, PKS berupaya menyelesaikan dan melalui rintangan-rintangan yang biasa terjadi pada partai politik: 1) pengendalian kadernya yang semakin membengkak, me-manage jumlah kader yang diharapkan mencapai 2,5 juta jiwa; 2) menjaga performance partai agar tidak terjerumus kepada godaan gemerlapnya kekuasaan yang cenderung negatif; 3) membuktikan konsistensinya dengan membumikan programnya dan grand design Indonesia masa depan secara lebih konkret; dan 4) merangkul swing voters yang kecewa dan keluar dari partai lain.

V.3.B. Network, Power Sharing dan Pemberdayaan Konstituen

Governance mengedepankan ide baru partnership antara sektor publik, sektor privat dan sektor non-privat. Ide baru partnership ini mengandung makna pembagian kekuasaan antara berbagai aktor yang ada dan tidak selamanya berarti kehilangan kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini terlihat pada: ke bawah kepada pemerintah daerah melalui desentralisasi pelayanan public, wewenang dan kekuasaan; ke atas, kepada organisasi-organisasi global (PBB, ASEAN, dll); keluar, masyarakat sipil, swasta, dll (Gribben et al. 2000).

Governance dilihat sebagai suatu tata pembagian kekuasaan pada berbagai tingkat dan arah dalam suatu jaringan yang independen (Bjork & Johansson, 2000) dan bahwa “tidak ada yang merupakan boss”, tetapi semua sederajat, saling membutuhkan, tidak ada yang memiliki suatu kemampuan yang super untuk memecahkan persoalan yang komplek, dinamis, dan saling terkait satu dengan yang lainnya (Peters: 2001).

Dalam rangka pemberantasan kemiskinan, misalnya, para pakar mencoba menghubungkan governance dengan konsep kemiskinan dan hubungan diantara keduanya. Mereka mengakui bahwa kemiskinan adalah konsep yang multidimensi dan tidak hanya sebatas dimensi ekonomi. Selain kekurangan pendapatan, si miskin juga menderita kekurangan atau ketiadaan pelayanan (kesehatan, pendidikan dan kredit) dan kekurangan partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Karena itu, si miskin sering merasa terisolasi, dan tidak berdaya ketika hak-hak mereka dilanggar dan dimanfaatkan oleh mereka yang kaya dan berkuasa (Chambers 1992; 1995).

Para pakar kemudian menyadari bahwa good governance adalah prasyarat utama pemberantasan kemiskinan, sebab tanpa good governance, sumber daya yang terbatas tidak akan dipakai semaksimal mungkin untuk pemberantasan kemiskinan. Kita membaca di koran bahwa belasan milliaran dana PER (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat) yang bergulir ternyata hilang tanpa jelas rimbanya. Mengapa hilang? Ada banyak alasan yang bisa didapatkan. Yang pasti governance mengakui bahwa persoalan semacam itu bisa terjadi karena kurangnya transparansi, lemahnya akuntabilitas, korupsi yang merajalelah, sistim hukum yang tidak pasti yang menghalangi pertumbuhan ekonomi yang dapat menarik si miskin keluar dari kemiskinan, dll. Good governance perlu bila semua aspek kemiskinan ingin ditiadakan, tidak hanya melalui penyediaan kredit dan peningkatan pendapatan, tetapi juga melalui pemberdayaan dan peningkatan partisipasi si miskin dalam kebijakan publik (Chambers 1992; 1995).

Perubahan paradigma pemerintahan ini tidak merubah orientasi partai politik. Target utama partai politik adalah untuk memenangkan pemilu yang membedakan parpol dengan organisasi lainnya. Namun anggota partai yang bersifat massal yang diorganisasikan oleh seperangkat ide partikularistik tidak dianggap sebagai satu-satunya basis untuk memenangkan pemilu. Kemampuan menangkap pemilih sebanyak mungkin ditentukan oleh sikap yang lebih moderat bagi ide-ide dan kepentingan pragmatis yang berkembang di masyarakat.

Satu faktor penting yang mendorong pergeseran ini adalah semakin tolerannya masyarakat terhadap berbagai ideologi. Pada saat yang sama justru muncul skeptisisme terhadap ideologi-ideologi ekstrem. Reaksi terhadap perubahan ini cukup menonjol dalam partai. Orientasi partai-partai menjadi lebih programatik yang bersifat kontemporer, bukan ideologis yang dogmatis. Di negara-negara berkembang, pergeseran itu juga mencolok. Banyak partai yang awalnya turut menentukan ideologi negara mulai melepaskan diri dari referensi ideologi partai untuk kepentingan memperluas dukungan komunitas pemilih. Ideologi hanya menjadi label instrumental dan penuh keterbatasan. Ini mungkin membantu menarik dukungan komunitas primordial, tetapi sekaligus membatasi diri pada komunitas lain.

Dampak dari pergeseran ideologi-dogmatis ke pragmatis-programatik ini bervariasi. Secara konseptual, partai seharusnya menjadi lebih luwes dan tanggap dalam merespons tuntutan masyarakat. Dalam praktiknya, hambatan untuk itu tetap melembaga. Akuntabilitas partai sulit diukur di luar arena pemilu. Sementara kekuasaan partai tersebar tidak lagi terbatas di kalangan komunitas anggotanya, tetapi juga stakeholders di luar komunitas partai.

VI. KESIMPULAN

Angin reformasi telah membawa perubahan yang luar biasa bagi waca dan praktek demokrasi di negeri kita. Bangunan-bangunan tua yang seram dan menakutkan telah ditumbangkan. Sementara itu bangunan-bangunan baru yang lebih merakyat telah bermunculan dimana-dimana dengan warna yang beragam dan sering menyilaukan mata hati penghuninya.

Pada awalnya rakyat menyambut kelahiran ”sang juruselamat” dengan sukacita yang luar biasa. Ada berbagai tawaran-tawaran yang menarik ditawarkannya. Aku adalah pelindung rakyat. Aku adalah partai wong cilik, Ikutlah dengan aku, maka hidupmu akan lebih baik. Kira-kira demikian bunyi iklannya. Rakyatpun termakan oleh rayuan manisnya. Namun setelah semua diberikan janji itupun belum juga terwujud. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Rakyat dipreteli, dihianati dan menjadi korban politik para elite.

Akibatnya bisa diterka. Hilang rasa percaya dan simpati. Yang terjadi adalah sebaliknya. Rakyat menjadi masa bodoh, membenci partai dan alergi dengan politik. Bila rakyat mengalami kesulitan, maka bukan partai politik yang didatangi, bukan pula para penegak hukum. Tetapi rakyat lebih suka mendatangi PIAR. Bahkan dikala kemarahan mereka memuncak rakyat lebih cenderung untuk mengambilalih peran para penegak hukum. Rakyat menjadi hakim yang mengadili sesama rakyat sementara itu sang hakim hanya bisa menonton sambil menikmatioleh-oleh dari sang elite.

Inilah sekilas gambaran persoalan dan tantangan partai politik dan demokrasi yang terbaca dari paper ini. Adalah lebih mudah mencegah dari pada mengobati. Namun ini tidak berarti bahwa jalan demokrasi yang telah kita rintis harus berhenti sampai disini. Ditengah-tengah kemelut bangsa yang begitu melangit, kita masih melihat ada beberapa individu dan institusi yang memiliki optimisme, teladan dan etika yang luar biasa. Mereka inilah yang patut kita teladani dalam membenahi diri kedalam dan dalam mengelola kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh dalam konteks global yang semakin borderless and stateless.

Pada saat yang sama kita dihadapkan pada gelombang reformasi global yang telah menawarkan dan menumbuhkan wacana dan praktek baru kekuasaan yang lebih classless, partisipatif, akuntabel, manusiawi, dan etis. Didalamnya kekuasaan tidak lagi diidentikan dengan pemerintah yang monopolitif dan omnipresent. Kekuasaan lebih dilihat dalam konteks kebersamaan yang multidimensional institutionally omnipresent.

Perubahan cara pandang terhadap kekuasaan inilah yang harus bisa ditangkap dan dipahami oleh partai politik. Orientasi kekuasaan adalah target utama partai politik. Orientasi inilah yang menjadi benderanya. Namun target itu hanya bisa mungkin tercapai bila partai politik mampu mengelola diri dengan baik, mampu mengelola dan membangun kebersamaan dengan rakyat, dan mampu memanfaatkan peluang dan potensi eksternal yang tersebar dimana-mana.


VII. REFERENSI

Bjork, P., and Johansson, H, 2000, Towards Governance Theory: In Search for a Common Ground http://finans.regeringen.se/kommitteer/samverkan/pdf/commonground.pdf (Accessed 9 September 2002)
Chambers, R., 1992, „Rural Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory‟, IDS Discussion Paper No. 311
Chambers, R., 1995. „Poverty and Livelihood: Whose Reality Counts? IDS Discussion Paper No. 347, IDS, Brighton
Gribben C., Pinnington K., Wilson a. 2000, Government as Partners. The Role of Central Government in Developing New Social Partnerships, The Copenaghen Centre, Copenaghen. http://tools.ashridge.org.uk/Ashridge/AshAcbas.nsf/pdfs/Copenhagen/$file/Copenhagen.pdf (Accessed 17 September 2002)
Peters, B. Guy, 2001, The Future of Governing, University Press of Kansas, Kansas.
Zuhro, R. Siti, 2006, Quo Vadis Parpol, Parlemen, dan Pemerintah. Situs milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia (Accessed 22 M1y 2006)

Makalah ini disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Dasar Politik Kader PKB Kota Kupang (Sabtu 27/05/06).

Jermi Haning adalah Alumnus STPDN (D3) 1995, Institut Ilmu Pemerintahan (S1) 2000, Master of Policy and Administration (S2) Flinders University of South Australia 2003 dan sedang belajar Environmental Governance (S3) Massey University, New Zealand sejak 2015
Email: haning.jermi@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba