Skip to main content

Reformasi Struktur dan/atau Kultur? (Kupang, 15 Des 2005)

Wacana reformasi (retrsukturisasi) birokrasi organisasi pemerintah daerah saat ini memasuki tahapan implementasi. Beberapa daerah telah melakukan analisis berbagai hal untuk merombak birokrasi mereka sesuai dengan preskripsi PP 8/2003 dan kondisi riil masing-masing daerah. Flores Timur (Pos Kupang, 14 Desember 2005) akan menjadi leading district dalam melakukasn kick-off restrukturisasi birokrasi.

Diberitakan bahwa akan ada sekitar 8 dinas dan 448 jabatan yang akan dipangkas/ditiadakan. Dari aspek finansial, pemangkasan ini akan menghemat dana rutin APBD sekitar 5 miliar rupiah. Pasalnya dengan penghematan ini, maka belanja publik dapat ditingkatkan. Namun akankah struktur baru organisasi maupun anggaran belanja ini membawa perubahan kultural yang substantif masih bisa diperdebatkan.

Pada dasarnya overarching aim dari reformasi birokrasi adalah peningkatan akuntabilitas birokrasi. Perombakan struktur yang dilakukan hanya alat, bukan tujuan. Apa artinyanya memiliki badan yang langsing kalau sebetulnya tetap rakus. Impian setiap orang adalah: memiliki ukuran organisasi birokrasi bentuk badan yang ideal, tidak mesti kurus, tetapi produktif, tanggap, efektif dan efisien, bersih dari kkn, dan akuntabel.

Tujuan akuntabilitas yang ingin diwujudkan adalah: 1) tujuan politik yaitu untuk memastikan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah tidak disalahgunakan, dan 2) tujuan operasional yaitu untuk memastikan bahwa pemerintah beroperasi secara efektif dan efisien.

Seperti Apa Reformasi Awal?
Diatas kertas, preskripsi PP 8/2003 tidak banyak berbeda dengan preskripsi PP 84/2000. Ada banyak legasi PP 84/2000 yang muncul kembali. Padahal kelahiran PP 84/2003 lebih merupakan produk reaktif pemerintah dalam mengorganisir sekitar dua juta PNS pusat yang dialihkan menjadi PNS daerah otonom.

Dalam perjalanan implementasinya banyak departemen yang mengeluh karena mereka mengalami kesulitan dalam memahami sistim nomenklatur yang diadopsi masing-masing daerah. Banyak daerah yang menghadirkan unit-unit baru yang sesungguhnya tidak dibutuhkan dan menghabiskan banyak anggaran.

Peleburan beberapa KANWIL dan KANDEP, yang dulunya menyelenggarakan fungsi-fungsi dekonsentrasi, dengan DINAS dibawah manajemen Kepala Daerah ternyata tidak menghilangkan permasalahan klasik seperti buruknya kerjasama dan koordinasi, rendahnya kinerja dan pemborosan anggaran.

Pengisian jabatan-jabatan struktural masih semata-mata memprioritaskan senioritas alias kepangkatan dan kedekatan hubungan. Banyak pejabat yang dipromosikan tanpa memperhatikan kompetensi mereka. Praktek di Kota Kupang dimana para professional seperti tenaga pendidik/guru yang memenuhi syarat dipaksakan menjadi manajer telah mempengaruhi kultur, kompetisi, dan kinerja para birokrat disatu sisi dan ketersedian tenaga pendidik di sisi lain.

Ironi downsizing sebagai bagian dari reformasi birokrasi diperparah lagi oleh kecenderungan dinaikannya eselonering beberapa jabatan dan pembentukan kecamatan dan desa baru yang lebih banyak dilandasi romantisme kedaerahan dan alasan klasik mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kalau downsizing dimaksudkan untuk mengurangi belanja pegawai, lantas buat apa bikin kecamatan dan desa baru?

Ketidakseriusan pemerintah daerah melakukan reformasi juga tercermin dari penekanan yang berlebihan pada hal-hal yang bersifat seremonial dan simbolis. Banyak daerah yang telah mengadopsi perlatan manajemen modern seperti rencana strategis, anggaran kinerja, manajemen berbasis kompetisi, dan sistim akuntansi akrual yang berbasis information technology namun dalam prakteknya adopsi ini tidak lebih dari show off semata.

Akibatnya perubahan yang terjadi selama ini masih sangat terbatas pada perubahan struktur sedangkan perubahan substantif yang merupakan outcomes dari strukturisasi belum mendapat perhatian.

Apa Yang Diatur PP 8/2003?
Untuk menyempurnakan preskripsi PP 84/2000, pemerintah mengeluarkan PP 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. PP 8/2003 memiliki cakupan prekrispsi yang cukup details namun kurang substansial bahkan mengurangi kesalahan terdahulu.

Pertama, adalah soal kesamaan struktur eselon bagi daerah. Kepala Dinas memiliki eselon yang sama di seluruh republik, terlepas dari ukuran, skope, dan level kompleksitas beban kerja dinas tersebut dan terlepas dari level tanggungjawabnya. Seorang Kepala Dinas di Surabaya (kota besar, penduduk banyak, dan ekonomi besar) memiliki eselon, gaji dan tunjungan yang sama dengan seorang Kepala Dinas di Kota Sabang. PP 84/2000 juga secara otomatis memberi para pejabat pada level provinsi eselon yang lebih tinggi dari pada para pejabat pada level kabupaten dan kota guna mencipatkan hubungan hirarki diantara mereka. Kepala Dinas di Provinsi kecil seperti Bangka Belitung akan memiliki eselon yang lebih tinggi dari pada Kepala Dinas yang sama di Kota Surabaya.

Kedua, dalam hal jumlah perangkat pemerintah daerah, PP 8/2003 tidak melakukan modifikasi terhadap kategori organisasi perangkat daerah. PP 8/2003 hanya membatasi jumlah organisasi yang dapat didirikan dan membatasi jumlah sub-unit organisasi. Sebagai contoh pemerintah provinsi tidak bisa memiliki lebih dari 10 dinas, sementara itu pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memiliki lebih dari 14 dinas. Ketentuan ini hanya mengulangi apa yang telah diatur PP 84/2000.

Ketiga, PP baru juga memasukan sistim skore yang didasarkan pada kriteria umum daerah dan kriteria untuk 19 area fungsi pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dalam menilai apakah mereka memerlukan organisasi yang terpisah dalam area tertentu, dan jika iya, organisasi jenis apa yang dibutuhkan. Sebagai contoh suatu skore yang kurang dari 500 berarti tidak perlu mendirikan suatu organisasi yang terpisah, sementara itu skore antara 500 dan 750 maka pemerintah daerah dapat mendirikan suatu KANTOR. Skore di atas 750 maka suatu DINAS atau BADAN dapat didirikan.

Sistim pengskoring ini kurang jelas dan penetapan bahwa suatu organisasi perangkat daerah dapat didirikan ketika skore minimum telah tercapai hanya ada pada penjelasan PP dan bukan ada pada isi utamanya. Kriteria individu organisasi perangkat daerah kurang meyakinkan dan pendekatannya sangat mekanistik.

Penerapan sistim skore untuk menentukan tipe organisasi yang dapat didirikan juga tidak konsisten dengan tipe fungsi BADAN dan KANTOR: menurut pasal 6 dan 10 PP 8/2003 kedua tipe organisasi hanya fokus pada fungsi administratif dan koordinasi (perencanaan, penelitian dan pengembangan, pelatihan, pengawasan dan arsip), hanyalah administrasi kependudukan dan kesehatan yang memiliki fungsi pelayanan langsung kepada publik.

Keempat, PP 8/2003 memodifikasi beberapa istilah dan menyediakan definisi yang lebih details tentang “lembaga teknis daerah”. PP ini menyediakan contoh kongkrit akan area yang harus dilayani oleh lembaga teknis, namun demikian PP ini tidak mengklarifikasi apakah itu merupakan daftar final atau hanya sebagai contoh. Seperti disebutkan di atas, fungsi-fungsi yang dispesifikasi adalah yang memiliki karakter administratif dan pelayanan, sedangkan lembaga teknis menyediakan pelayanan bagi unit lain pemerintah daerah dan tidak menyediakan pelayanan secara langsung kepada publik (kecuali Rumah Sakit Daerah).

Kelima, bertolakbelakang dengan PP 84/2000 yang menyerahkan struktur organisasi kecamatan dan kelurahan kepada pemerintah daerah (Pasal 16 PP 84/2000), PP 8/2003 memberi petunjuk yang lebih detail dalam hal ini, sehingga membatasi diskresi daerah. Dengan sengaja Pasal 12 (5) PP 8/2003 memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyediakan suatu pedoman yang berkaitan dengan organisasi kecamatan – pengaturan ini dengan sengaja tidak diatur dalam PP 84/2000.

Apa Dampak dan Strategi?
Implementasi PP 8/2003 akan membawa perubahan yang sangat signifikan terhadap struktur organisasi pemerintah daerah, terhadap alokasi anggaran belanja pegawai, terhadap kerjasama dan koordinasi, terhadap manajemen secara keseluruhan, dan terhadap konstelasi politik lokal.

Ratusan pejabat yang telah menduduki jabatan dan menikmati tunjangan extra akan kehilangan kedua manfaat ini. Hal ini kemudian akan mempengaruhi kesejateraan, loyalitas, dan motivasi para birokrat yang selama ini sudah sangat tidak menggembirakan. Sementara itu sudah bukan rahasia lagi bahwa PNS yang terpakai biasanya adalah mereka yang pandai membaca situasi dan membawa diri. Mereka ini belum tentu memiliki kemampuan, tetapi mungkin mereka memiliki “kemauan”.

Bila penempatan PNS pada posisi yang ada lebih mengedepankan kedekatan relasi, apalagi balas jasa, maka harapan rakyat untuk memiliki birokrasi yang “MISKIN STRUKTUR, KAYA FUNGSI” tidak akan pernah terjadi. Yang akan lahir nantinya adalah birokrasi yang “MISKIN STRUKTUR, MISKIN FUNGSI”. Inilah tantangan Simon Hayon, yaitu pengembangan kapabilitas para birokrat pada berbagai fungsi. Banyak pemimpin memahami ini, sayangnya banyak juga yang tidak mengerti instrument yang dapat dipakai untuk mencapainya.

Pelangsingan organisasi di banyak negara ternyata gagal mewujudkan tujuan utama (raison d’etre): pengurangan biaya. Menurut hasil survey yang dilakukan Wyatt Company selama periode 1985 dan 1990, 89 persen organisasi yang melakukan pelangsingan manajemen mereka, dimana pengurangan biaya sebagai tujuan utama, namun hanya 42 persen sesungguhnya mewujudkan tujuan mereka. Pelangsingan dengan tujuan mengurangi biaya sering dilihat sebagai cara yang gegabah untuk menghemat anggaran di masa yang akan datang (Hamel & Prahalad: 1994).

Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai cara pelangsingan birokrasi. Pelangsingan organisasi dapat dilakukan melalui pembabatan secara sepihak, hingga pendekatan yang agak lembut seperti penyedian insentif untuk pension dini dan job sharing (Sutton & D’Aunno, 1989). Ada banyak cara untuk memutuskan "who stays, who goes" mulai dari yang sewenang-wenang hingga yang didasarkan pada kriteria tertentu (Brockner, 1992). Ada juga berabagi mode perencanaan: mulai dari yang terselubung hingga diskusi publik dan meminta input dari pegawai. Ada banyak cara pemberitahuan penghentian seseorang pejabat birokrat: mulai dari yang dilakukan secara tiba-tiba hingga yang dilakukan jauh sebelumnya.

Yang paling ditakutkan adalah bila perubahan STRUKTURAL yang diharapkan tidak diikuti oleh perubahan KULTURAL. Alasan terjadi kesulitan menarik suatu hubungan khusus antara “pelangsingan organisasi” dan “budaya organisasi” adalah karena ada banyak pendekatan dalam pelangsingan. Ada perbedaan yang menyolok antara pelangsingan proaktif, yang direncanakan dengan baik sebelumnya dengan tujuan yang lebih luas, dan pelangsingan rekatif, yang pada umunya dimaksudkan hanya sebagai startegi cost-cutting yang merupakan upaya terakhir dalam menghadapi persoalan yang mungkin terjadi (Kozlowski et. al., 1991).

Manfaat pengematan dana APBD semestinya tidak dilihat dari indikator input yaitu ada penambahan dana 5 milliar untuk belanja pembangunan. Manfaat restrukturisasi akan terasa apabila dana ini dikelola dengan budaya baru yang menghargai nilai uang (mengapa, untuk apa, kapan, dan bagaimana uang itu harus dibelanjakan) dan meninggalkan budaya proyek (berapa banyak honor dan fee yang dapat diperoleh dari manipulasi dan negosiasi dengan kontraktor)

Satu hal yang pasti adalah bahwa manajemen pelangsingan organisasi yang tidak tepat dan tertutup selain gagal meniadakan permasalahan organisasi yang semestinya juga bisa menimbulkan permasalahan baru. Bagi pegawai unggul yang larut dalam rutinitas pekerjaan, namun tidak memiliki akses informasi dan kekuasaan yang cukup bisa tersingkir dalam struktur baru. Mereka yang terpakai bisa jadi adalah mereka yang belum tentu unggul namun mampu mengelola kekuasaan. Namun demikian mereka akan tetap dihantui oleh beban psikologis bahwa mereka bisa di-PHK dari jabatan mereka sewaktu-waktu tanpa memerlukan alasan rasional yang cukup.

Oleh karena itu perombakan sistem kepangkatan, jabatan, penghargaan dan penghukuman, pengembangan pegawai perlu dilakukan secara konsepsional dan menyeluruh. Selain itu, seyogyanya nilai-nilai budaya yang cenderung dapat merusak sistem dan prosedur sejalan mungkin diakomodasikan secara pantas. Di satu pihak langkah ini bersifat pengendalian dan di lain pihak meminimalkan perilaku birokrasi yang munafik. Rasanya sudah sejak lama rakyat dijajah para birokrat munafik: mengutamakan kepentingan pribadi dan meningalkan rakyat dalam ketidakberdayaan.

Jermi Haning adalah Sekretaris Lurah Oenesu, Kec Kupang Barat, Kab Kupang. Alumnus Flinders Institute of Public Policy and Management at Flinders University of South Australia.

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba