Skip to main content

Kelaparan Dipandang Sebelah Mata (Kupang, 13 Juni 2006)

Kelaparan adalah penderitaan tahunan bagi anak bangsa yang kebetulan mendiami NTT. Hampir bisa dikatakan tiada tahun yang berlalu tanpa persoalan yang berkaitan dengan pangan, gizi dan kelaparan.

Awal tahun 2006, dilaporkan (Tempo Interaktif 18/03/06) ada sebanyak 16 balita tewas di RS Karitas Weetabula, Kabupaten Sumba Barat, akibat komplikasi busung lapar, pneumonia dan penyakit ikutan lainnya.

Kemudian Kompas (10/06/06) melaporkan pengakuan Bupati Sikka, Alex Longginus, bahwa lebih dari 60 ribu masyarakat di wilayah itu menderita kelaparan karena kehabisan bahan makanan. Penderitaan yang dilaporkan sudah diluar batas toleransi. Hingga hari kamis (14/06/06), satu bulan setelah diketahui adanya kelaparan, Metrotv melaporkan bahwa warga masih mengkonsumsi putak, sejenis bahan makanan yang umumnya hanya untuk makanan ternak.

Data yang tersedia pada Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT lebih mengejutkan.Ancaman kelaparan saat ini sedang menghantui tujuh kabupaten lainnya: Ngada, Ende, Sikka, Lembata, Belu, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Ada sekitar 145 desa berisiko tinggi, 192 desa berisiko sedang, dan 238 desa lainnya berisiko ringan (Suara Pembaharuan 10/06/06).

Setahun yang lalu, pada bulan Juli tahun 2005, Sumba Barat dan beberapa Kabupaten di Flores dan Timor juga dilaporkan menderita kelaparan. Sama seperti di Sikka, penyebab kelaparan juga disebabkan oleh kegagalan panen. Akibatnya warga terpaksa masuk ke hutan untuk mencari umbi-umbian dan bijian-bijian tertentu yang juga biasanya hanya untuk makanan ternak.

Bahkan masih pada tahun 2005 ada sekitar 52 anak di bawah usia lima tahun meninggal akibat busung lapar di NTT, ratusan anak lagi dirawat. Puluhan ribu anak kekurangan gizi dan belasan ribu anak mengalami gizi buruk. Ada pula 434.868 warga dalam risiko tinggi akibat rawan pangan, sedangkan 233.088 warga berisiko sedang.

Persoalan Mati Hidup
Pada tahun-tahun mendatang hampir bisa dipastikan kelaparan akan tetap melanda warga NTT (Sinukaban 2005). Ironinya ancaman kelaparan, busung lapar dan kematian yang terjadi karena gagal panen (curah hujan), tidak diimbangi dengan peningkatan akses pangan. Ini artinya kelaparan yang terjadi karena pemerintah belum banyak berbuat untuk mencari alternatif solusi lain.

Kelaparan yang terjadi karena gagal pangan melanda penduduk yang hanya mengantungkan hidupnya dari produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan makan dan kebutuhan lainnya hingga masa panen berikutnya. Tidak hanya persediaan pangan mereka sangat terbatas tetapi mereka juga tidak memiliki alternatif sumber pendapatan lain untuk menutupi kebutuhan lainnya.

Inilah karaktek kebanyakan warga petani NTT. Mereka memiliki luas lahan yang terbatas, berbatu dan miskin unsur hara. Kebanyakan usaha mereka tergantung pada faktor curah hujan yang umumnya sangat rendah. Sayangnya tidak ada alternatif tanaman pangan yang mampu survival pada kondisi demikian menjadi semakin langkah. Nasionalisasi nasi yang telah berlangsung puluhan tahun hingga model intervensi kelaparan melalui alokasi beras termasuk beras miskin (Raskin) telah mematikan heterogenitas produk pangan lokal yang terbukti lebih survive.

Dikala produksi dan akses beras menjadi persoalan maka kelaparan adalah kenyataan yang harus dihadapi. Namun walau mereka harus menjual harta benda yang ada hampir bisa dipastikan bahwa harga beras akan sulit terkejar. Seorang sahabat di Sikka yang dihubungi penulis beberapa saat yang lalu mengatakan bahwa harga beras di Sikka saat ini telah melonjak naik sekitar 50%. Sehingga bisa dipastikan bahwa yang ada dibenak warga Sikka bukan hanya ancaman kelaparan tetapi yang lebih menakutkan adalah ancaman kematian.

Agenda Pemerintah Beda
Walapun warga telah mengkonsumsi makanan ternak, terancam penyakit dan kematian, ternyata respon pemerintah masih sangat lambat. Pemerintah masih menganggap remeh penderitaan rakyat semacam itu. Pemerintah seakan-akan tidak pernah belajar dari bahkan mempercayai pengalaman dan kenyataan/potensi persoalan.

Permintaan bantuan yang disampaikan oleh pemerintah daerah dianggap mengada-ada. Birokrasi yang harus ditempuh sangat panjang. Ada berbagagi prosedur yang harus dilalui hingga bantuan yang diminta diturunkan. Sehingga bila pemerintah daerah ”terpaksa” menggunakan jalur media masa untuk ”memaksa” pemerintah pusat menyalurkan bantuan, itu artinya rakyat telah lama menderita kelaparan.

Hal ini sangat kontras dengan reaksi cepat pemerintah yang ditunjukkan kepada persoalan negara lain. Ditengah-tengah penantian masyarakat Sikka akan penyaluran bantuan, secara diam-diam tanpa prosedur panjang dan validasi pemerintah menyalurkan bantuan makanan hingga miliaran rupiah ke Timor Leste.

Pemerintah seakan-akan melihat penderitaan rakyat di negara yang dulunya cukup menguras tenaga anak-anak bangsa lebih penting dari penderitaan anak-anak bangsa sendiri. Memang kelaparan adalah persoalan manusiawi lintas batas negara, namun mengapa pemerintah harus berpikir sepuluh kali untuk membantu rakyat sendiri.

Kelaparan NTT hanya mungkin bermakna bila isu ini bisa dipakai untuk meluluskan agenda tertentu. Import beras yang dilakukan oleh pemerintah pada awal tahun ini menjadikan kelaparan NTT sebagai salah satu justifikasinya. Kepentingan terselubung pemerintah nampak sekali ketika beberapa kapal telah menurunkan impor beras walaupun DPR belum memberi lampu hijau kepada pemerintah.

Perilaku serupa juga ditunjukkan oleh pemerintah daerah. Bahkan ada kecenderungan untuk menghindari tanggungjawab dan memanfaatkan isu genting semacam ini untuk ”memeras” pemerintah pusat. Padahal Peraturan Pemerintah (PP) No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan telah memberi tanggungjawab kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan pemerintah desa dalam hal penyelenggaraan ketahanan pangan, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangan masalah pangan di wilayah masing-masing.

Perilaku kontraks pemerintah daerah di NTT terlihat dari kurangnya perhatian untuk meletakan kelaparan pada agenda teratas berbagai kebijakan publik. Kelaparan hampir bisa dikatakan sebagai bencana tahunan di NTT, namun menjadi terasa aneh dikalah pemerintah lebih memilih untuk menghabiskan alokasi anggaran yang semakin meningkat dari pemerintah pusat untuk kesejateraan para elite. Pemerintah daerah lebih mengutamakan pengadaan kendaraan mewah, pelaksanaan studi banding ke Jawa, Australia, Cina dan Eropa, dan pelipatgandaan tunjangan kesejateraannya.

Rencana renovasi gedung DPRD NTT yang akan menghabiskan anggaran publik hingga enam miliar rupiah adalah contoh agenda kebijakan publik yang beda atau tidak memihak. Pemerintah daerah melihat ruangan kerja yang mewah dan ber-ac lebih penting dari kelaparan yang menimpa rakyat. Tanpa berpikir panjang pemerintah ”sepakat” untuk merenovasi gedung DPRD, namun pembelian 100 ton beras pada tahun 2005 untuk stok sepanjang tahun, termasuk stok untuk tahun berikutnya, DPRD Kab Lembata hanya menyetujui pembelian 20 ton. Pemerintah seakan harus menunggu hingga rakyat miskin, yang sering dipakai sebagai senjata saat berhadapan dengan pemerintah pusat, menjadi korban.


Perubahan Kebijakan (Khusus)
Sejatinya persoalan kelaparan diletakan pada agenda pertama kebijakan publik. Kelaparan adalah persoalan dasar yang harus diselesaikan sebelum kita melangkah lebih jauh. Maslow menggambarkannya dengan sangat baik melalui hierarchy of needs. Untuk sampai pada anak tangga yang paling atas, aktualisasi diri, seseorang harus merasa aman dengan kebutuhan dasar terlebihi dahulu. Seseorang tidak akan menghabiskan uang dalam jumlah yang besar untuk berpolitik kalau perutnya masih kosong. Kalaupun ia harus berpolitik, maka itu adalah politik demi perut.

Alasannya simple. Perut adalah hidup. Bila perut tidak terisi, maka hidup berubah menjadi mati. Itulah sebabnya banyak orang yang lapar suka berbuat nekad walau hanya untuk satu bungkus nasi. Orang yang lapar tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh bila hal itu harus dilakukan untuk bisa makan. Bila belum makan, maka tidak ada hal lain yang lebih penting dari makan. Ia bahkan siap untuk menukar satu hektar tanah, pulau bahkan kemananya negara demi sepiring nasi.

Hal ini sejalan dengan perubahan konsep keamanan yang telah bergeser dari pemahaman yang hanya berfokus pada aspek meliter ke keamanan manusia, termasuk keamanan pangan. Dalam bukunya Governance, Development and Human Security, Thomas (2000) mengingatkan bahwa: ”The pursuit of human security must have at its core the satisfaction of basic material needs of all humankind. At the most basic level, food, shelter, education and health care are essential for the survival of human beings.”

Kelaparan yang terjadi setiap tahun di NTT merupakan persoalan keamanan manusia. Untuk itu dibutuhkan solusi yang serius. Berapapun biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah, nyawa anak-anak bangsa jauh lebih berharga. . Bila alasan manusiawi yang mendorong bantuan cepat ke Timor Leste; bila ketidakadilan alokasi sumberdaya melatarbelakangi pemberontakan mantan anggota GAM; bila ancaman disintegrasi melatarbelakangi pengeluaran meliter dan non-meliter yang tinggi di Aceh dan Timor Leste, maka kelaparan masyarakat NTT tidak tepat bila hanya dipandang sebelah mata. Pendekatan penanganan KLB hanyalah solusi awal. Dibutuhkan kebijakan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan bila kita tidak ingin terjadi persoalan serupa di masa-masa yang akan datang.

Comments

Popular posts from this blog

“Empowerment” berarti “Disempowerment”?

“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas. Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada

Strategi belajar Bahasa Inggris, raih TOEFL tinggi

Beasiswa melimpah Saat ini telah tersedia beasiswa baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melimpah. Beasiswa dalam negeri untuk kuliah di luar negeri terbanyak disediakan oleh LPDP . Kalau penyedia beasiswa yang oleh lembaga asing itu paling banyak adalah AUSAid ( Australia Award Scholarship ), StuNed (Study in the Netherlands), NZAid ( New Zealand ASEAN Scholarship ), Uni Eropa ( Erasmus ) dan masih banyak lagi.  Dari pengalaman saya, jumlah pelamar yang memenuhi syarat itu tidak pernah melebihi quota beasiswa yang disediakan. Ini artinya bahwa banyaknya penduduk dan pelamar dari Indonesia bukanlah masalah. Semua orang pernah gagal Hal berikut yang perlu temans pahami adalah bahwa semua orang pernah gagal. Banyak temans yang bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah ke luar negeri via beasiswa , tapi ternyata bahasa inggris menjadi kendala besar. Ini kisah hampir semua orang yang pernah kuliah di luar negeri. Ini bukan kisah orang yang hanya bisa bermimpi. Artinya, bahasa

DPRD bukan Legislatif dan Otoritasnya Tidak Setingkat Kepala Daerah?

15 June 2015 at 11:35 Kewenangan DPRD sering disewenangkan   yang menyebabkan pemerintah pusat mendukung pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah tanpa harus melibatkan DPRD untuk menghindari masalah yang lebih besar .  Penyebabnya, DPRD sering disamakan dengan DPR yang secara jelas memiliki hak kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Montequieu lewat Teori Trias Politica. Secara jelas dikatakan bahwa " penyelenggaraan pemerintahan di pusat terdiri atas lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, [sedangkan] penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah  (Amendemen kedua Pasal 18 UUD 1945; Penjelasan Umum UU 23/2014). Jadi pemisahan kekuasaan itu hanya ada di pusat, tidak ada pemisahan di daerah; DPRD dan Kepala Daerah adalah sama-sama unsur pemerintahan daerah.  Lalu timbul pertanyaan, apakah itu urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah? Di pasal 1 ayat 5 UU 23 tahun 2014 secara jelas dikatakan ba