“Lebih baik hujan batu di negeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang lain” menyesatkan dan meninabobokan penduduk miskin. Tanah yang subur (kolom susu) dan keluarga yang banyak membuat penduduk miskin tergilas oleh hujan kapitalis yang menyenyakan tidur siang. Tetapi fakta ini juga yang terjadi pada kebijakan publik yang tertidur pulas.
Kehadiran Flobamora Mall di Kupang di awal tahun 2000-an, disusul Lippo Mal di akhir 2014 sebagai contoh, disambut dengan antusias. Masyarakat senang menjadi tuan rumah pusat pembelajaan modern, satu atap, serba ac dan bahkan serba Rp.5000. Namun dampak negatifnya cepat dan sangat terasa. Beberapa tetangga di Oebufu tidak hanya berkurang omzet penjualan di usaha mereka [kios dan toko] tetapi juga kehilangan tanahnya akibat berkurangnya pasar tradisional yang menjadi andalannya dan meningkatnya nilai jual tanah. Masyarakat lebih senang berbelanja di supermarket dari pada di warung kecil dan yang pasti biaya sewa beralih ke mall dari pada ke pemilik tanah.
Mengapa Terjadi?
Dalam konteks yang berbeda, cerita di atas hampir di alami oleh kebanyakan kaum miskin. Mulai dari nelayan kecil, petani kecil, pedagang sayur kecil dan pengrajin kecil.Model ekonomi neoliberal telah membuka akses bahkan menciptakan pasar di berbagai daerah namun pada saat yang sama menyebabkan kehilangan sumberdaya bagi kaum miskin dalam jumlah yang juga tidak sedikit. Kehadiran pengusaha besar membatasi bahkan meniadakan akses kaum miskin terhadap sumberdaya yang mereka nikmati selama ini seperti pasar, padang pengembalaan, sumber air tawar, sumberdaya laut dan lain sebagainya.
Penyebabnya bukan karena pasar selalu tidak sempurna, tetapi karena modal yang terbatas dan terutama karena kompetisi adalah bukan budaya kebanyakan komunitas. Kebanyakan kaum miskin hanya berusaha untuk sekedar memenuhi kebutuhan sesaat. Mereka tidak memandang atau tidak menyadari bahwa kehadiran penguasa besar merupakan suatu ancaman.
Dengan skala produksi yang besar (economies of scale) pengusaha besar bisa berproduksi dengan sangat efisien. Kemudian mereka membanjiri pasar dengan produk yang sangat murah yang sulit ditandingi oleh produksi level rumah tangga. Maka para pembelipun beralih ke pengusaha besar, dan hilanglah pasar tradisonal pengusaha kecil.
Kelemahan lain kaum miskin tidak terletak pada ketiadaan materi, tetapi lebih pada bagaimana memanfaatkan materi yang ada dengan baik dan bijak. Kesulitan pemanfaatan materi seperti tanah dan rumah seringkali disebabkan oleh status legal yang tidak memungkinkan mereka memperoleh kredit perbankan.
Kaum miskin memiliki ”idle asset” yang mungkin cukup banyak tetapi mereka hidup dalam keterbatasan. Pilihan mudah yang sering diambil adalah dengan menjual aset yang ada, namun karena daya inovasi yang rendah atau budaya konsumtif kuat godaannnya sehingga 'durian yang jatuh' hancur berantahkan. Mereka sulit keluar dari kemiskinan walau berlimpah dalam uang kas. Bahkan tidak sedikit yang tertimpah 'durian jatuh' akibat kesulitan memanfaatkan aset yang ada.
Neoliberalisme Keliru
Bagi Myers dalam karyanya Walking with the poor (2003) pola relasi kaum non miskin vs kaum miskin cenderung eksploitatif. Tidak ada yang gratis, ”free lunch” justru dijadikan candu demi upah buruh atau nilai aset yang rendah, loyalitas bahkan kebebasan.Bagi beberapa pengusaha besar, tujuan mereka bukan sekedar memperoleh profit sebanyak mungkin, bukan pula sekedar mempengaruhi perilaku konsumen tetapi terlebihi lagi adalah untuk menguasai bahkan mengendalikan pasar termasuk didalamnya adalah mengendalikan usaha kecil menengah dan orang kecil.
Semakin lebar gap antara kaum miskin dan kaum non-miskin maka semakin kuat dan menggurita pengaruh kaum non-miskin. Sebaliknya semakin sempit gap itu, maka pengaruh mereka menjadi semakin kurang bermakna. Oleh karena itu empowerment kaum miskin sering dihambat karena dipandang sebagai disempowerment baginya.
Pada pihak lain, kaum miskin cenderung untuk tidak memberikan perlawanan atau melakukan aksi yang dianggap dapat merugikan bila tidak ingin kehilangan perlindungan atau pertolongan dari kaum non-miskin. Mereka cenderung pasrah dan menyerah pada nasib. Kondisi ini melanggengkan pola hubungan patron-client yang masih mewarnai budaya kita.
Pada akhirnya terlihat bahwa pasar bebas yang diyakini oleh neoliberalisme membawa kemakmuran hanya mampu melahirkan individu yang tidak bebas.
Bukan Diskriminatif
Karena kecenderungan pola relasi yang eksploiatif itulah, maka Chambers (1997) dalam Whose Reality Counts?: Putting the First Last. menawarkan model pemberdayaan (empowerment) “to put the first last and the last first”, yaitu bahwa empowerment of the poor only works if it means disempowerment of the non-poor. Ini juga artinya bahwa fokus pemberdayaan adalah ‘the man behind the gun” bukan “the gun” karena itu maka fokus pembangunan harus pada being dari pada things.Pemberian kredit usaha kepada kaum miskin tidak hanya berarti pemutusan hubungan ketergantungan kaum miskin kepada para tengkulak/ lintah darat tetapi juga berarti pengurangan bahkan peniadaan bunga pinjaman tinggi yang mereka nikmati sebelumnya. Kaum miskin tidak hanya diberi porsi yang lebih besar sedangkan kaum non-miskin diberi porsi yang lebih sedikit, tetapi bagi Chambers pemberdayaan berarti penyangkalan terhadap kaum non-miskin dan pemberian tongkat komando kepada kaum miskin.
Disempowerment berarti pemberian tanggungjawan kepada kaum non-miskin untuk memikul beban kaum miskin yang dapat berbentuk pemberian subsidi silang, penerapan pajak berganda, pembatasan penguasaan sumberdaya ekonomi (tanah misalnya) bahkan pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis. Pemahaman semacam ini tentu lebih dari sekedar Corporate Social Responsibility (CSR) atau Entrepreneur Social yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian korporasi dan kaum non-miskin terhadap kaum miskin.
Kita bisa belajar dari kebijakan empowerment masyarakat melayu versi Malaysia yang pada awalnya dianggap diskriminatif namun kemudian berhasil mengangkat ekonomi rakyat dan memberi energi baru bagi pembangunan ekonomi.
Empowerment itu dua arah
Empowerment kaum miskin berarti disempowerment kaum non miskin. Untuk memberdayakan pemilik kiosk kecil, sebagai contoh, maka pembangunan supermarket harus dibatasi dan penguatan kiosks kecil harus ditingkatkan. Empowerment itu dua arah: tidak hanya memperkuat kaum kecil, tetapi juga membatasi kaum yang besar. Empowerment kaum miskin berhasil bila gap kemampuan untuk berkompetisi antara kaum miskin dan kaum non-miskin telah menyempit.Salah satu isu utama pembangunan adalan soal membagi ‘kue’. Dengan semakin meningkatnya eksploitasi/berkurangnya sumber daya alam atau bahan baku untuk membuat kue, maka ukuran ‘kue’ semakin kecil, tidak mudah untuk dibuat menjadi lebih besar. Sehingga tantanganya adalah dalam membagi kue pembangunan antara yang miskin dan non miskin. Saat tidak ada pilihan lain, maka upaya memperbesar kue yang non miskin dengan sendirinya akan memperkecil jatah kue yang bukan miskin.
setuju...
ReplyDeleteperlu ada yang difasilitasi
dan ada yang dibatasi
tidak bisa dibiarkan saling berkompetisi, bagaimanapun hukum kita tidak cukup kuat termasuk penegakannya untuk melindungi yang lemah
kebetulan sekali ini
ReplyDeletekehadiran hypermart di kupang yang menjual barang-barang dengan harga jauh lebih rendah pasti punya dampak besar terhadap umkm. tidak harus dilarang tetapi harus dibatasi retailers global seperti ini
trims