"Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara" (Pasal 34 UUD 1945).
Inilah dasar konstitusional pijakan kebijakan sosial (ex. pendidikan, kesehatan dan perumahan) yang harus diambil oleh pemerintah daerah. Sejauhmana intervensi negara dalam artian memelihara seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 agar suatu kebijakan itu menjadi efektif - mampu menjawab persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru - sering dipolemikkan.
Yang telah dipolemikkan termasuk kebijakan Jaminan Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan di Kabupaten Kupang. Ada yang optimis, ada yang pesimis, bahkan ada yang sinis. Tak dapat dipungkiri bahwa selalu ada dasar untuk justifikasi argumen-argumen semacam ini. Komentar terakhir dan yang mendorong lahirnya artikel pendek ini datang dari Prof. Dr. Frans Umbu Data (Timex 06/02/07).
Tokoh terdepan dunia pendidikan NTT ini memberi sedikit warning akan risiko yang bisa muncul seperti yang dialami Somalia melalui kebijakan serupa. Risiko yang diidentifikasi antara lain seperti matinya tanggung jawab kolektif sosial dalam melaksanakan pembangunan. Kekhawatiran yang paling utama adalah kemungkinan berkurang bahkan hilangnya tanggung jawab orangtua dalam menyekolahkan anak-anak mereka.
Pertentangan ideologi
Implementasi kebijakan sosial dipengaruhi oleh beberapa perspektif yang dipakai dalam memahami persoalan kemiskinan dan solusi yang dianggap tepat. Dari pendekatan residual dikatakan bahwa kebijakan sosial diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat seperti keluarga dan ekonomi pasar. Kebijakan sosial oleh karena itu diberikan hanya untuk jangka waktu pendek, pada masa darurat dan harus dihentikan apabila lembaga-lembaga tadi sudah berfungsi.
Perspektif ini dipengaruhi oleh ideologi konservatif yang cenderung menolak perubahan (Parson et.al., 1994; Zastrow, 2000). Menurut ideologi ini, tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negatif, ketimbang positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap pasar. Daripada mengatur bisnis dan industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran danpemenuhan kebutuhan individu.
Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan korban" atau blaming the victim approach. Masalah sosial, termasuk kemiskinan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggung jawab dirinya, bukan sistem sosial. Program-program pengentasan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah "anak kandung" paham ini. Penerima pelayanan social dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau bahkan penyimpang (deviant).
Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan kebijakan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Kebijakan dan pelayanan sosial dianggap sebagai hak warga negara.
Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang pada dasarnya percaya bahwa perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parson et.al., 1994; Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang adil dan setara di antara berbagai kepentingan.
Menariknya sikap semacam ini justru berbeda dengan paham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung mendukung pasar bebas, perdagangan bebas, globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut para politisi dari kalangan konservatif.
Perpesktif ini juga dekat dengan ideologi radikal yang cenderung "menyalahkan sistem" (Parson et.al., 1994). Individu dan kelompok dipandang sebagai warga negara yang sehat, aktif dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu, melainkan produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas dan diskriminatif yang kemudian membentuk sistem kapitalis.
Tiga bentuk program pemerintah yang umumnya ditekankan oleh pendekatan ini meliputi: penciptaan disribusi pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta dan penyediaan "barang-barang publik" tertentu (pendidikan, kesehatan, perumahan sosial, rekreasi), yang tidak dapat disediakan oleh pasar secara efisien.
Inilah yang kemudian melahirkan berbagai kebijakan jaminan sosial di Indonesia seperti Askes/Askeskin, Taspen, Asabri, Jamsostek, BLT, Raskin dan lain-lain.
Apa justifikasinya?
Kedua pendekatan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendekatan residual cenderung mengabaikan tanggung jawab negara, sementara itu skema bantuan sosial residual yang mensyaratkan test penghasilan dikritik sebagai sistem kesejateraan sosial yang melahirkan stigma dan poverty trap bagi para penerimanya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah salah satu contohnya. Sementara itu pendekatan institusional dikritik karena melahirkan model welfarestate yang boros, tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan kepada pemerintah. Para penerima pelayanan sosial menjadi malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat keluar dari kemiskinan.
Namun perlu diingat bahwa dalam konteks lokal dampak negatif seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Frans Umbu Data tentang kemungkinan hilangnya tanggung jawab sosial dan dampak negatif lainnya sangat kecil terjadi. Fakta memperlihatkan bahwa hampir semua negara demokratis menganut ideologi welfare state yang berhasil memerdekakan rakyat mereka dari berbagai persoalan sosial.
Reformasi kebijakan pendidikan seperti yang diusung oleh Angela Merkel di Jerman dalam kampanyenya baru-baru ini berhasil mendudukannya menjadi penguasa tetapi tentu saja tidak bisa digeneralisir. Masih ada banyak negara maju yang tetap membutuhkan kebijakan seperti yang hendak diterapkan di Kabupaten Kupang walaupun beban yang ditanggung pemerintah cukup mahal.
Demikian juga apa yang terjadi di Somalia adalah kasus yang terlalu mahal harganya untuk digeneralisir ke negara-negara berkembang yang notabenenya masih sangat lemah dalam institusional building. Pertama, berbeda dengan penyebab kemiskinan yang ada di negara-negara barat yang sering disebabkan oleh faktor-faktor individual seperti isolasi, cacat fisik/mental, masalah emosional, alkoholisme, dan penyalahgunaan narkoba, penyebab kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti KKN dan kebijakan publik yang tidak memihak.
Berbagai faktor struktural ini ikut mempengaruhi dinamika ekonomi yang berakar antara lain pada pasar yang tidak efisien dan tidak adil (market failure) yang menuntut intervensi pemerintah. Keterbatasan daya beli masyarakat menyebabkan penetrasi pelayanan sosial dari pasar swasta menjadi sangat terbatas dan cenderung hanya berfokus pada daerah. Kondisi ini menuntut adopsi pendekatan institusional ketimbang pendekatan residual.
Kedua, bahwa kebijakan distribusi pendapatan dan kekayaan selama ini tidak efektif oleh karena berbagai alasan seperti birokrasi yang berbelit-belit, kecenderungan instrumen yang berbasis kredit microfinance yang sering disalahgunakan baik oleh penerima/pemberi, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan melemahnya peran keluarga dan institusi sosial lainnya.
Persoalan kualitas sumberdaya manusia yang rendah mendorong pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran publik bagi sektor pendidikan dan kesehatan mencapai 20% dan 15%. Namun berbagai data statistik memperlihatkan bahwa besarnya belanja pemerintah untuk kedua sektor ini lebih kecil dari 10%. Kenyataan ini menuntut adanya kebijakan yang pro poor seperti pendekatan institusional.
Ketiga, tingginya penyalahgunaan kekuasaan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah: pemerintah sering membuat janji namun kemudian tidak ditepati. Selain itu kehadiran kebijakan semacam ini yang dibiayai dari pajak pada gilirannya akan mendorong peningkatan kepedulian dan kepemilikan penduduk terhadap kualitas pelayanan publik yang disediakan maupun terhadap keseriusan pemanfaatannya.
Ini artinya kebijakan sosial seperti yang ada di Kabupaten Kupang tidak akan mematikan modal sosial/tanggung jawab sosial dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti yang dikhawatirkan. Sebaliknya akan terjadi penguatan modal sosial yang pada gilirannya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Putnam, 2000).
Keempat, pengaruh neoliberalisme yang menjunjung tinggi pasar bebas dan peran pemerintah yang terbatas telah mendorong komersialisasi pelayanan publik yang menimbulkan peningkatan beban finansial yang harus ditanggung masyarakat, khususnya masyarakat miskin tanpa terjadi kompetisi dan perbaikan kualitas seperti yang dipercayai.
Peningkatan tarif perawatan kesehatan seperti yang terjadi di RSU Prof. Dr. WZ Yohannes adalah salah satu contoh pengaruh neoliberalisme yang perlu dihadapi dengan kebijakan yang dapat mendorong redistribusi pendapatan dan kekayaan seperti melalui asuransi kesehatan.
Kelima, mungkin ada baiknya untuk mengutip argumentasi Jeffry Sach, arsitek MDGs, dalam bukunya The End of Poverty (2005), bahwa jebakan kemiskinan harus diatasi lebih dulu. Meski orang miskin ingin keluar dari kemiskinannya, ia tidak mampu melakukannya dengan kekuatan sendiri. Begitu banyak faktor yang menjeratnya sampai tak berkutik: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang.
Oleh karena itu orang miskin harus diberi bantuan. Ini tidak dapat dikatakan bahwa Sachs ingin menciptakan ketergantungan pada bantuan. Ia setuju, lebih baik memberi kail daripada ikan. Namun, ia mengoreksi rumus ini. Bagaimana bisa memancing kalau lapar? Beri dulu ikan agar bisa berdiri memancing! Mereka harus dibantu, istilah Sachs untuk menjejakkan kaki (to jump start). Setelah mereka keluar dari jebakan kemiskinan, mereka baru sanggup ikut memancing. Selanjutnya pemerintah perlu memastikan bahwa rakyat memiliki keterampilan memancing dan kemudian dapat memancing pada sungai/danau/laut yang ada tanpa harus bersaing dengan atau diperas para tuan tanah.
Akhirnya jika kita 'setia' pada UUD 1945, maka kebijakan sosial dalam artian kesejahteraan sosial harusnya merupakan platform sistem perekonomian dan sistim sosial di Indonesia. Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham "Negara Kesejateraan" (welfare state) yang artinya negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraanjaminan sosial (social security).
Sumber: http://www.indomedia.com/poskup/2007/02/20/edisi20/opini.htm
dipelihara oleh negara" (Pasal 34 UUD 1945).
Inilah dasar konstitusional pijakan kebijakan sosial (ex. pendidikan, kesehatan dan perumahan) yang harus diambil oleh pemerintah daerah. Sejauhmana intervensi negara dalam artian memelihara seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 agar suatu kebijakan itu menjadi efektif - mampu menjawab persoalan tanpa menimbulkan persoalan baru - sering dipolemikkan.
Yang telah dipolemikkan termasuk kebijakan Jaminan Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan di Kabupaten Kupang. Ada yang optimis, ada yang pesimis, bahkan ada yang sinis. Tak dapat dipungkiri bahwa selalu ada dasar untuk justifikasi argumen-argumen semacam ini. Komentar terakhir dan yang mendorong lahirnya artikel pendek ini datang dari Prof. Dr. Frans Umbu Data (Timex 06/02/07).
Tokoh terdepan dunia pendidikan NTT ini memberi sedikit warning akan risiko yang bisa muncul seperti yang dialami Somalia melalui kebijakan serupa. Risiko yang diidentifikasi antara lain seperti matinya tanggung jawab kolektif sosial dalam melaksanakan pembangunan. Kekhawatiran yang paling utama adalah kemungkinan berkurang bahkan hilangnya tanggung jawab orangtua dalam menyekolahkan anak-anak mereka.
Pertentangan ideologi
Implementasi kebijakan sosial dipengaruhi oleh beberapa perspektif yang dipakai dalam memahami persoalan kemiskinan dan solusi yang dianggap tepat. Dari pendekatan residual dikatakan bahwa kebijakan sosial diberikan hanya apabila kebutuhan individu tidak dapat dipenuhi dengan baik oleh lembaga-lembaga yang ada di masyarakat seperti keluarga dan ekonomi pasar. Kebijakan sosial oleh karena itu diberikan hanya untuk jangka waktu pendek, pada masa darurat dan harus dihentikan apabila lembaga-lembaga tadi sudah berfungsi.
Perspektif ini dipengaruhi oleh ideologi konservatif yang cenderung menolak perubahan (Parson et.al., 1994; Zastrow, 2000). Menurut ideologi ini, tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negatif, ketimbang positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservatif melihat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap pasar. Daripada mengatur bisnis dan industri, pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran danpemenuhan kebutuhan individu.
Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang "menyalahkan korban" atau blaming the victim approach. Masalah sosial, termasuk kemiskinan disebabkan oleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggung jawab dirinya, bukan sistem sosial. Program-program pengentasan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah "anak kandung" paham ini. Penerima pelayanan social dianggap sebagai klien, pasien, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau bahkan penyimpang (deviant).
Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates, pendekatan institusional melihat sistem dan kebijakan sosial sebagai fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Kebijakan dan pelayanan sosial dianggap sebagai hak warga negara.
Perspektif institusional dipengaruhi oleh ideologi liberal yang pada dasarnya percaya bahwa perubahan pada umumnya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parson et.al., 1994; Zastrow, 2000). Masyarakat dan ekonomi pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang adil dan setara di antara berbagai kepentingan.
Menariknya sikap semacam ini justru berbeda dengan paham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung mendukung pasar bebas, perdagangan bebas, globalisasi, dan laissez-faire policy sebagaimana dianut para politisi dari kalangan konservatif.
Perpesktif ini juga dekat dengan ideologi radikal yang cenderung "menyalahkan sistem" (Parson et.al., 1994). Individu dan kelompok dipandang sebagai warga negara yang sehat, aktif dan partisipatif. Kemiskinan bukan disebabkan oleh kesalahan individu, melainkan produk dari sistem sosial yang tidak adil, menindas dan diskriminatif yang kemudian membentuk sistem kapitalis.
Tiga bentuk program pemerintah yang umumnya ditekankan oleh pendekatan ini meliputi: penciptaan disribusi pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta dan penyediaan "barang-barang publik" tertentu (pendidikan, kesehatan, perumahan sosial, rekreasi), yang tidak dapat disediakan oleh pasar secara efisien.
Inilah yang kemudian melahirkan berbagai kebijakan jaminan sosial di Indonesia seperti Askes/Askeskin, Taspen, Asabri, Jamsostek, BLT, Raskin dan lain-lain.
Apa justifikasinya?
Kedua pendekatan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendekatan residual cenderung mengabaikan tanggung jawab negara, sementara itu skema bantuan sosial residual yang mensyaratkan test penghasilan dikritik sebagai sistem kesejateraan sosial yang melahirkan stigma dan poverty trap bagi para penerimanya. Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah salah satu contohnya. Sementara itu pendekatan institusional dikritik karena melahirkan model welfarestate yang boros, tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan kepada pemerintah. Para penerima pelayanan sosial menjadi malas, manja dan tidak mau bekerja agar dapat keluar dari kemiskinan.
Namun perlu diingat bahwa dalam konteks lokal dampak negatif seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Frans Umbu Data tentang kemungkinan hilangnya tanggung jawab sosial dan dampak negatif lainnya sangat kecil terjadi. Fakta memperlihatkan bahwa hampir semua negara demokratis menganut ideologi welfare state yang berhasil memerdekakan rakyat mereka dari berbagai persoalan sosial.
Reformasi kebijakan pendidikan seperti yang diusung oleh Angela Merkel di Jerman dalam kampanyenya baru-baru ini berhasil mendudukannya menjadi penguasa tetapi tentu saja tidak bisa digeneralisir. Masih ada banyak negara maju yang tetap membutuhkan kebijakan seperti yang hendak diterapkan di Kabupaten Kupang walaupun beban yang ditanggung pemerintah cukup mahal.
Demikian juga apa yang terjadi di Somalia adalah kasus yang terlalu mahal harganya untuk digeneralisir ke negara-negara berkembang yang notabenenya masih sangat lemah dalam institusional building. Pertama, berbeda dengan penyebab kemiskinan yang ada di negara-negara barat yang sering disebabkan oleh faktor-faktor individual seperti isolasi, cacat fisik/mental, masalah emosional, alkoholisme, dan penyalahgunaan narkoba, penyebab kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti KKN dan kebijakan publik yang tidak memihak.
Berbagai faktor struktural ini ikut mempengaruhi dinamika ekonomi yang berakar antara lain pada pasar yang tidak efisien dan tidak adil (market failure) yang menuntut intervensi pemerintah. Keterbatasan daya beli masyarakat menyebabkan penetrasi pelayanan sosial dari pasar swasta menjadi sangat terbatas dan cenderung hanya berfokus pada daerah. Kondisi ini menuntut adopsi pendekatan institusional ketimbang pendekatan residual.
Kedua, bahwa kebijakan distribusi pendapatan dan kekayaan selama ini tidak efektif oleh karena berbagai alasan seperti birokrasi yang berbelit-belit, kecenderungan instrumen yang berbasis kredit microfinance yang sering disalahgunakan baik oleh penerima/pemberi, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan melemahnya peran keluarga dan institusi sosial lainnya.
Persoalan kualitas sumberdaya manusia yang rendah mendorong pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran publik bagi sektor pendidikan dan kesehatan mencapai 20% dan 15%. Namun berbagai data statistik memperlihatkan bahwa besarnya belanja pemerintah untuk kedua sektor ini lebih kecil dari 10%. Kenyataan ini menuntut adanya kebijakan yang pro poor seperti pendekatan institusional.
Ketiga, tingginya penyalahgunaan kekuasaan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah: pemerintah sering membuat janji namun kemudian tidak ditepati. Selain itu kehadiran kebijakan semacam ini yang dibiayai dari pajak pada gilirannya akan mendorong peningkatan kepedulian dan kepemilikan penduduk terhadap kualitas pelayanan publik yang disediakan maupun terhadap keseriusan pemanfaatannya.
Ini artinya kebijakan sosial seperti yang ada di Kabupaten Kupang tidak akan mematikan modal sosial/tanggung jawab sosial dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti yang dikhawatirkan. Sebaliknya akan terjadi penguatan modal sosial yang pada gilirannya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Putnam, 2000).
Keempat, pengaruh neoliberalisme yang menjunjung tinggi pasar bebas dan peran pemerintah yang terbatas telah mendorong komersialisasi pelayanan publik yang menimbulkan peningkatan beban finansial yang harus ditanggung masyarakat, khususnya masyarakat miskin tanpa terjadi kompetisi dan perbaikan kualitas seperti yang dipercayai.
Peningkatan tarif perawatan kesehatan seperti yang terjadi di RSU Prof. Dr. WZ Yohannes adalah salah satu contoh pengaruh neoliberalisme yang perlu dihadapi dengan kebijakan yang dapat mendorong redistribusi pendapatan dan kekayaan seperti melalui asuransi kesehatan.
Kelima, mungkin ada baiknya untuk mengutip argumentasi Jeffry Sach, arsitek MDGs, dalam bukunya The End of Poverty (2005), bahwa jebakan kemiskinan harus diatasi lebih dulu. Meski orang miskin ingin keluar dari kemiskinannya, ia tidak mampu melakukannya dengan kekuatan sendiri. Begitu banyak faktor yang menjeratnya sampai tak berkutik: penyakit, cuaca buruk, lingkungan yang hancur, isolasi fisik, dan tentu saja tiadanya cukup uang.
Oleh karena itu orang miskin harus diberi bantuan. Ini tidak dapat dikatakan bahwa Sachs ingin menciptakan ketergantungan pada bantuan. Ia setuju, lebih baik memberi kail daripada ikan. Namun, ia mengoreksi rumus ini. Bagaimana bisa memancing kalau lapar? Beri dulu ikan agar bisa berdiri memancing! Mereka harus dibantu, istilah Sachs untuk menjejakkan kaki (to jump start). Setelah mereka keluar dari jebakan kemiskinan, mereka baru sanggup ikut memancing. Selanjutnya pemerintah perlu memastikan bahwa rakyat memiliki keterampilan memancing dan kemudian dapat memancing pada sungai/danau/laut yang ada tanpa harus bersaing dengan atau diperas para tuan tanah.
Akhirnya jika kita 'setia' pada UUD 1945, maka kebijakan sosial dalam artian kesejahteraan sosial harusnya merupakan platform sistem perekonomian dan sistim sosial di Indonesia. Sehingga kalau mau jujur, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham "Negara Kesejateraan" (welfare state) yang artinya negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraanjaminan sosial (social security).
Sumber: http://www.indomedia.com/poskup/2007/02/20/edisi20/opini.htm
Comments
Post a Comment