
Akhir April 2007, Presiden meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di Palu, Sulawesi Tengah.
Lokasi peluncuran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri amat strategis karena Palu berbatasan dengan Poso, salah satu daerah konflik di Indonesia yang menyebabkan banyak korban nyawa, harta, dan kemiskinan. Dampak konflik yang paling hakiki adalah kemiskinan relasional (relational poverty) yang tidak mudah dipulihkan dengan kebijakan berbasis anggaran (Myers 2003).
Argumentasi Myers—yang dibangun dari konsep poverty trap (Chambers 1983), lack of social power (Friedman 1992), disempowerment (Christian 1994), dan lack of freedom to grow (Jayakaran 1996)—adalah bahwa poverty is a result of relationships that do not work, that are not just, that are not for life, that are not harmonious or enjoyable.
Karena itu, kehadiran Presiden diharapkan dapat membawa efek bola salju yang akan memulihkan relasi berbagai stakeholders yang berselisih. Hal ini seiring dengan teori modal sosial bahwa semakin kokoh kepercayaan (trust) dan norma bila relasi (network) semakin padat dan kuat (Putnam 1995).
Paradigma lama
Dengan total dana Rp 51 triliun pada 2007, akan tercipta 12,5 juta lapangan kerja sehingga jumlah penduduk miskin pada 2009 akan berkurang 8,2 persen. Demikian proyeksi Menko Kesra.
Ini berarti pemahaman pemerintah terhadap kemiskinan dan strategi pengentasannya belum berubah. Pemerintah masih melihat kemiskinan sebatas defisit, kekurangan. Bahwa orang miskin tidak memiliki pendapatan yang cukup, perumahan yang layak, atau air bersih, pandangan ini mendorong perencanaan pengadaan materi yang tidak ada. Asumsi tidak tertulis adalah bila materi yang tidak ada ini telah ada, orang miskin (dianggap) tidak lagi miskin.
Pandangan semacam ini tidak salah. Orang miskin membutuhkan materi itu, tetapi pandangan ini tidak menyentuh inti persoalan dan justru melahirkan persoalan baru: mendorong pemerintah memosisikan diri sebagai Sinterklas. Orang miskin dilihat sebagai penerima pasif dan sebagai manusia yang tidak utuh (Chambers 1983).
Yang terjadi adalah dehumanisasi orang miskin. Pandangan kita tentang mereka beralih menjadi pandangan mereka tentang mereka: bahwa mereka adalah manusia yang tidak utuh; bahwa talenta Tuhan hanya diberikan kepada pihak luar tidak untuk mereka; bahwa mereka tidak bisa bangkit tanpa pihak luar.
Kemiskinan yang bukan miskin
Kalaupun pemerintah hanya memberi fokus pada kemiskinan materi melalui sisi pengadaan materi, pemerintah sering mengabaikan sisi penggunaan materi.
Membelanjakan pendapatan, bagi orang miskin, sama sulitnya dengan memperoleh pendapatan. Orang miskin suka meniru perilaku orang yang tidak miskin di sekitar mereka sehingga pendapatan yang diperoleh sering habis di aset yang tidak produktif (parabola, handphone), pengeluaran destruktif (alkohol), bahkan pesta pora.
Artinya keberadaan penduduk yang bukan miskin memengaruhi keberhasilan pengentasan kemiskinan.
Peran mereka sangat signifikan karena mereka tidak hidup di suatu komunitas yang terpisah dari penduduk nonmiskin (Anderson (1996). Di suatu komunitas termiskin sekalipun selalu ada sekelompok penduduk tidak/kurang miskin yang menduduki posisi-posisi kunci dalam pengambilan keputusan.
Kelompok ini memiliki persoalan "kemiskinan" yang tidak kalah penting, seperti praktik ijon, perilaku eksploitatif, bahkan pemerasan terhadap penduduk yang miskin. Mereka membangun image bahwa merekalah yang akan menyelamatkan orang miskin, bahwa mereka membuat hidup orang miskin menjadi utuh. Mereka menawarkan peran mesias bagi penduduk miskin.
Kemiskinan kelompok ini lahir ketika mereka kehilangan identitas yang membuat mereka tidak mengerti panggilan mereka yang sesungguhnya.
Kehilangan identitas dan panggilan hidup
Akar persoalan kemiskinan adalah relasi yang rusak sebagai akibat dari cara pandang identitas dan panggilan yang salah.
Penduduk miskin cenderung menyerah kepada nasib dan tidak percaya diri. Kalau ada yang kejatuhan durian, ia gampang jatuh dalam godaan menjadi seperti penduduk nonmiskin. Mereka menolak identitas mereka yang sesungguhnya. Yang lain menyerahkan diri sebagai hamba; bahwa panggilan hidup mereka adalah untuk melayani penduduk yang tak miskin.
Kepercayaan bahwa hanya warga keturunan Tionghoa yang sukses dalam bisnis adalah salah satu contoh rusaknya identitas yang memengaruhi panggilan hidup. Semestinya kita bisa belajar dari Korea yang mampu membangun ekonomi dengan keyakinan, mereka bisa maju dan mengalahkan Jepang (Kompas, 3/5/2007).
Relasi yang rusak dengan Tuhan membuat larut dalam berbagai masalah. Persoalan terkini sering dikaitkan dengan dosa masa lalu, bahkan mereka menyangsikan pengampunan Tuhan sehingga sering kali mereka jatuh ke tangan paranormal yang eksploitatif. Mereka tak melihat diri mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan yang sempurna dan tidak berbeda dari manusia lainnya.
Sementara itu, relasi yang rusak dengan sesama membuat kelompok tertentu menempatkan diri sebagai musuh kelompok lain. Identitas mereka sebagai makhluk mulia yang berakal budi hancur lebur. Kemuliaan yang ada tidak dipakai untuk kesejahteraan bersama, melainkan untuk kelompok sendiri dan untuk menghancurkan kelompok lain.
Persoalan terkini adalah rusaknya hubungan antara manusia dan lingkungan. Manusia tidak melihat dirinya sebagai bagian integral dari lingkungan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. Namun, sebaliknya lingkungan dieksploitasi sehingga berbagai bencana alam telah membawa korban harta dan nyawa yang tidak sedikit.
Jelas, pengentasan kemiskinan tidak cukup bila kemiskinan hanya dilihat sebagai ketiadaan materi semata. Kemiskinan adalah persoalan relasional yang harus diperangi melalui pemulihan identitas dan penemuan panggilan hidup semua stakeholders yang ada.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0705/21/opini/3533800.htm
Comments
Post a Comment