Bukan Keterbatasan, Tetapi Ketidakadilan
(Tantangan untuk TUTOR)
Jermi Haning
“It’s not about the size of the pie, but it’s about how we divide it” (Barak Obama)
Akhirnya pengadilan rakyat memilih Paket TUTOR sebagai Bupati/Wakil Kab. Kupang. Lewat a landslide victory, pendatang baru ini mengakhiri karir Paket Berita di birokrasi pemerintah daerah.
Banyak yang bertanya bagaimana mungkin sehingga pengadilan rakyat memilih Paket Tutor, bukan incumbent yang jejaknya ada dimana-mana di Kabupaten Kupang. Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh rakyat sehingga mereka lebih memilih mendukung pendatang baru yang masih asing?
Banyak yang menjawab bahwa kunci kemenangan Paket Tutor tidak terletak pada apa dan siapa itu Tutor, tetapi lebih pada apa dan siapa sang incumbent. Dan keinginan yang hendak disampaikan oleh rakyat adalah: PERUBAHAN.
Tantangan ini tidaklah mudah, mengingat kemiskinan (baca: keterbatasan) pada banyak aspek, termasuk didalam mengelola perubahan itu sendiri. Penulis melihat bahwa permasalahan kemiskinan tidak terletak pada keterbatasan, tetapi lebih pada kesalahpahaman praktek kebijakan alokasi dan distribusi yang menyebabkan ketidakadilan.
Raison D’etre Pemerintah
Tantangan pertama yang harus dilakukan adalah mengoreksi pemahaman para birokrat tentang alasan adanya pemerintah. Bahwa pemerintah sebagai organisasi publik memiliki raison d’etre yang berbeda dari organisasi non-publik, termasuk didalamnya adalah pemahaman tentang perbedaan panggilan untuk membangun karir bagi pegawai yang ada.
Bahwa pemerintah hadir untuk memberikan pelayanan, pemerintah tidak hadir untuk mencari keuntungan. Dasar filosofinya terletak pada kenyataan bahwa pemerintah dihadirkan oleh rakyat, dibiayai dengan pajak rakyat dan untuk menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Lain dengan organisasi privat yang dihadirkan untuk meciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi sang pemilik.
Oleh karena itu sangatlah keliru bila ada upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan kekayaan pemerintah daerah yang berakibat pada meningkatkanya beban finansial yang harus ditanggung oleh rakyat. Rakyat dikorbankan demi pemerintah, bukan sebaliknya.
Kekeliruan ini semakin meluas seiring dengan perwujudan ‘otonomi daerah’ yang cenderung diartikan sebagai auto-money; bahwa pemerintah daerah harus independen secara finansial. Akibatnya kita melihat menjamurnya pendirian perusahaan daerah, penerapan retribusi bagi hasil bumi, penyertaan modal pada pihak ketiga (ex: Bank NTT) tanpa batas waktu, kecenderungan pengukuran kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dari jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihimpun hingga kecenderungan klasifikasi rakyat sebagai pelanggan dan bukan sebagai warga negara.
Pemberdayaan Pemerintah Kecamatan
Mengingat wilayah geografis yang sangat luas, dengan akses yang sangat terbatas, maka tantangan lainnya adalah pemberdayaan pemerintah pada level yang lebih rendah, khususnya pemerintah kecamatan.
Semenjak dihentikannya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada masa orde baru, pemerintah kecamatan tidak lebih dari organisasi simbol yang hanya diberi tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rutin, dan seremonial, sekedar menyatakan bahwa ada pemerintah (walaupun tidak memiliki wewenang), hingga sebagai mobilisator dukungan politis menjelang pemilihan kepala daerah.
Keterbatasan wewenang ini tidak hanya membuat pemerintah kecamatan tidak dapat berbuat banyak dalam pelaksanaan pembangunan tetapi juga tidak banyak mengambil bagian dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi berbagai proyek yang dilaksanakan oleh SKPD di kecamatan. Akibat akuntabilitasnya berupa asimetri informasi; pemerintah kecamatan tidak berperan dalam memastikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh agency (SKPD) kepada principal (Bupati).
Akibat finansial adalah membengkaknya biaya monev hingga penegakan hukum. Pemerintah daerah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit untuk membiaya kegiatan SKPD yang sejatinya dapat dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan dengan biaya yang lebih murah. Lebih aneh lagi adalah seringkali pemerintah daerah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit merekrut tenaga pendamping kegiatan pembangunan di desa-desa, pada saat yang sama tenaga terampil yang ada di pemerintah kecamatan hanya bisa menonton, seakan-akan mereka dipekerjakan hanya untuk mengisi lowongan, tanpa harus melakukan sesuatu.
Sejatinya dengan dukungan personel dan perlengkapan yang hampir sama dengan SKPD pada tingkat pemerintah daerah, pemerintah kecamatan dapat memberi kontribusi yang besar. Jika pada pemerintahan sebelumnya pemerintah memperkenalkan semangat kompetisi dalam alokasi anggaran pada level Dusun lewat Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (BPEM), sebagai contoh, mungkin ada baiknya kalau program ini diperkenalkan pada level lebih tinggi seperti Kecamatan hingga SKPD. Kue pembangunan dibagikan sesuai dengan kemampuan, mereka yang berhasil (efisien, efektif, produktif dll) memperoleh award sedangkan mereka yang gagal mendapat punishment.
Restrukturisasi Anggaran
Tantangan lain yang harus dijawab oleh Pasangan TUTOR adalah membuktikan bahwa Bupati dan Wakil Bupati hasil PILKADAL berbeda, lebih bertanggungjawab kepada rakyat bila dibandingkan dengan Bupati dan Wakil Bupati yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Keberhasilan Pasangan TUTOR tidak terlepas dari gotong-royong masal hampir semua warga Kabupaten Kupang. Paling tidak jumlah pendukung jauh lebih banyak dari model pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Sangat politis, semua atau banyak pihak mengharapkan adanya ‘sesuatu’ yang diperoleh, kalau bukan promosi jabatan, maka alokasi anggaran harus lebih banyak. Namun mengingat ukuran kue pembangunan yang cenderung tidak bertambah, maka restrukturisasi (efisiensi) anggaran adalah salah satu cara yang dapat ditempuh.
Tidak ada pilihan lain, kecuali peningkatan persentasi belanja langsung (publik) dan pengurangan belanja tidak langsung (aparatur), sehingga rakyat memperoleh porsi anggaran yang lebih besar dari pada aparatur. Hal lainnya adalah peningkatan pengeluaran pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah, dan modernisasi manajemen asset untuk mengurangi anggaran akuisisi, operasional, pemeliharan dan penghapusan. Dari hasil perhitungan kasar penulis, penghematan belanja (ATK, Operasional & Pemeliharaan, Rapat, Modal, dll) dapat mencapai belasan milyar setiap tahun bila pemerintah sungguh-sungguh melakukan rasionalisasi.
Namun sesungguhnya seperti kata Barak Obama, tantangan utama yang harus dijawab oleh Pasangan Tutor adalah bagaimana membagi kue pembangunan yang terbatas dengan adil, bukan bagaimana melakukan penghematan semata dan atau berbangga dengan ‘tabungan’ yang besar di pihak ketiga, apalagi memperbesar kue pembangunan (PAD) yang pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat.
Kemiskinan muncul karena ketidakadilan: Ketidakadilan muncul karena kesalahpahaman dalam mengatasi keterbatasan, Ketidakadilan muncul karena kesalahpahaman tentang alasan adanya pemerintah, Ketidakdilan muncul karena sentralisasi wewenang, Ketidakadilan muncul karena kesalahan pemanfaatan kelebihan, dan Ketidakadilan muncul karena anggaran yang tidak berimbang (publik vs aparatur). Selamat membagi yang terbatas dengan adil!
Jermi Haning, PNS pada Bappeda Kab. Kupang, Anggota Forum Academia NTT, 2009
(Tantangan untuk TUTOR)
Jermi Haning
“It’s not about the size of the pie, but it’s about how we divide it” (Barak Obama)
Akhirnya pengadilan rakyat memilih Paket TUTOR sebagai Bupati/Wakil Kab. Kupang. Lewat a landslide victory, pendatang baru ini mengakhiri karir Paket Berita di birokrasi pemerintah daerah.
Banyak yang bertanya bagaimana mungkin sehingga pengadilan rakyat memilih Paket Tutor, bukan incumbent yang jejaknya ada dimana-mana di Kabupaten Kupang. Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh rakyat sehingga mereka lebih memilih mendukung pendatang baru yang masih asing?
Banyak yang menjawab bahwa kunci kemenangan Paket Tutor tidak terletak pada apa dan siapa itu Tutor, tetapi lebih pada apa dan siapa sang incumbent. Dan keinginan yang hendak disampaikan oleh rakyat adalah: PERUBAHAN.
Tantangan ini tidaklah mudah, mengingat kemiskinan (baca: keterbatasan) pada banyak aspek, termasuk didalam mengelola perubahan itu sendiri. Penulis melihat bahwa permasalahan kemiskinan tidak terletak pada keterbatasan, tetapi lebih pada kesalahpahaman praktek kebijakan alokasi dan distribusi yang menyebabkan ketidakadilan.
Raison D’etre Pemerintah
Tantangan pertama yang harus dilakukan adalah mengoreksi pemahaman para birokrat tentang alasan adanya pemerintah. Bahwa pemerintah sebagai organisasi publik memiliki raison d’etre yang berbeda dari organisasi non-publik, termasuk didalamnya adalah pemahaman tentang perbedaan panggilan untuk membangun karir bagi pegawai yang ada.
Bahwa pemerintah hadir untuk memberikan pelayanan, pemerintah tidak hadir untuk mencari keuntungan. Dasar filosofinya terletak pada kenyataan bahwa pemerintah dihadirkan oleh rakyat, dibiayai dengan pajak rakyat dan untuk menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat. Lain dengan organisasi privat yang dihadirkan untuk meciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi sang pemilik.
Oleh karena itu sangatlah keliru bila ada upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan kekayaan pemerintah daerah yang berakibat pada meningkatkanya beban finansial yang harus ditanggung oleh rakyat. Rakyat dikorbankan demi pemerintah, bukan sebaliknya.
Kekeliruan ini semakin meluas seiring dengan perwujudan ‘otonomi daerah’ yang cenderung diartikan sebagai auto-money; bahwa pemerintah daerah harus independen secara finansial. Akibatnya kita melihat menjamurnya pendirian perusahaan daerah, penerapan retribusi bagi hasil bumi, penyertaan modal pada pihak ketiga (ex: Bank NTT) tanpa batas waktu, kecenderungan pengukuran kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dari jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihimpun hingga kecenderungan klasifikasi rakyat sebagai pelanggan dan bukan sebagai warga negara.
Pemberdayaan Pemerintah Kecamatan
Mengingat wilayah geografis yang sangat luas, dengan akses yang sangat terbatas, maka tantangan lainnya adalah pemberdayaan pemerintah pada level yang lebih rendah, khususnya pemerintah kecamatan.
Semenjak dihentikannya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada masa orde baru, pemerintah kecamatan tidak lebih dari organisasi simbol yang hanya diberi tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan rutin, dan seremonial, sekedar menyatakan bahwa ada pemerintah (walaupun tidak memiliki wewenang), hingga sebagai mobilisator dukungan politis menjelang pemilihan kepala daerah.
Keterbatasan wewenang ini tidak hanya membuat pemerintah kecamatan tidak dapat berbuat banyak dalam pelaksanaan pembangunan tetapi juga tidak banyak mengambil bagian dalam pembinaan, monitoring dan evaluasi berbagai proyek yang dilaksanakan oleh SKPD di kecamatan. Akibat akuntabilitasnya berupa asimetri informasi; pemerintah kecamatan tidak berperan dalam memastikan kebenaran informasi yang disampaikan oleh agency (SKPD) kepada principal (Bupati).
Akibat finansial adalah membengkaknya biaya monev hingga penegakan hukum. Pemerintah daerah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit untuk membiaya kegiatan SKPD yang sejatinya dapat dilaksanakan oleh pemerintah kecamatan dengan biaya yang lebih murah. Lebih aneh lagi adalah seringkali pemerintah daerah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit merekrut tenaga pendamping kegiatan pembangunan di desa-desa, pada saat yang sama tenaga terampil yang ada di pemerintah kecamatan hanya bisa menonton, seakan-akan mereka dipekerjakan hanya untuk mengisi lowongan, tanpa harus melakukan sesuatu.
Sejatinya dengan dukungan personel dan perlengkapan yang hampir sama dengan SKPD pada tingkat pemerintah daerah, pemerintah kecamatan dapat memberi kontribusi yang besar. Jika pada pemerintahan sebelumnya pemerintah memperkenalkan semangat kompetisi dalam alokasi anggaran pada level Dusun lewat Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (BPEM), sebagai contoh, mungkin ada baiknya kalau program ini diperkenalkan pada level lebih tinggi seperti Kecamatan hingga SKPD. Kue pembangunan dibagikan sesuai dengan kemampuan, mereka yang berhasil (efisien, efektif, produktif dll) memperoleh award sedangkan mereka yang gagal mendapat punishment.
Restrukturisasi Anggaran
Tantangan lain yang harus dijawab oleh Pasangan TUTOR adalah membuktikan bahwa Bupati dan Wakil Bupati hasil PILKADAL berbeda, lebih bertanggungjawab kepada rakyat bila dibandingkan dengan Bupati dan Wakil Bupati yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Keberhasilan Pasangan TUTOR tidak terlepas dari gotong-royong masal hampir semua warga Kabupaten Kupang. Paling tidak jumlah pendukung jauh lebih banyak dari model pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Sangat politis, semua atau banyak pihak mengharapkan adanya ‘sesuatu’ yang diperoleh, kalau bukan promosi jabatan, maka alokasi anggaran harus lebih banyak. Namun mengingat ukuran kue pembangunan yang cenderung tidak bertambah, maka restrukturisasi (efisiensi) anggaran adalah salah satu cara yang dapat ditempuh.
Tidak ada pilihan lain, kecuali peningkatan persentasi belanja langsung (publik) dan pengurangan belanja tidak langsung (aparatur), sehingga rakyat memperoleh porsi anggaran yang lebih besar dari pada aparatur. Hal lainnya adalah peningkatan pengeluaran pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah, dan modernisasi manajemen asset untuk mengurangi anggaran akuisisi, operasional, pemeliharan dan penghapusan. Dari hasil perhitungan kasar penulis, penghematan belanja (ATK, Operasional & Pemeliharaan, Rapat, Modal, dll) dapat mencapai belasan milyar setiap tahun bila pemerintah sungguh-sungguh melakukan rasionalisasi.
Namun sesungguhnya seperti kata Barak Obama, tantangan utama yang harus dijawab oleh Pasangan Tutor adalah bagaimana membagi kue pembangunan yang terbatas dengan adil, bukan bagaimana melakukan penghematan semata dan atau berbangga dengan ‘tabungan’ yang besar di pihak ketiga, apalagi memperbesar kue pembangunan (PAD) yang pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat.
Kemiskinan muncul karena ketidakadilan: Ketidakadilan muncul karena kesalahpahaman dalam mengatasi keterbatasan, Ketidakadilan muncul karena kesalahpahaman tentang alasan adanya pemerintah, Ketidakdilan muncul karena sentralisasi wewenang, Ketidakadilan muncul karena kesalahan pemanfaatan kelebihan, dan Ketidakadilan muncul karena anggaran yang tidak berimbang (publik vs aparatur). Selamat membagi yang terbatas dengan adil!
Jermi Haning, PNS pada Bappeda Kab. Kupang, Anggota Forum Academia NTT, 2009
Comments
Post a Comment